Kisah ini diceritakan Sang Guru di Jetawana tentang seorang ibu mertua yang tuli.
Dikatakan bahwa ada seorang tuan tanah di Savatthi, seorang yang berkeyakinan dan percaya serta berlindng di bawah Tiga Permata dan seorang yang menjalankan lima sila.
Pada suatu hari, dia pergi untuk mendengarkan khutbah Sang Guru di Jetavana dengan membawa banyak sekali mentega cair dan beragam jenis rempah-rempah, bunga-bunga, wewangian dan yang lainnya. Pada waktu yang sama, ibu mertuanya yang memiliki masalah pendengaran datang untuk mengunjungi mereka dam membawa bingkisan makanan yang keras dan lunak.
Pada suatu hari, dia pergi untuk mendengarkan khutbah Sang Guru di Jetavana dengan membawa banyak sekali mentega cair dan beragam jenis rempah-rempah, bunga-bunga, wewangian dan yang lainnya. Pada waktu yang sama, ibu mertuanya yang memiliki masalah pendengaran datang untuk mengunjungi mereka dam membawa bingkisan makanan yang keras dan lunak.
Setelah makan dan dalam keadaan mengantuk dia bertanya kepada anaknya,” Nah- Apakah hidup kalian bahagia ? apakah kalian berdua saling akur ?”
“Mengapa Ibu bertanya seperti itu ? anda bahkan susah mencari seorang pertapa suci yang sangat baik dan berbudi seperti dirinya”. Jawab anaknya
Sang Ibu yang tidak begitu jelas mendengar perkataan anaknya tetapi hanya mendengar kata “pertapa” langsung menjerit, “Oh Anakku, mengapa suami mu menjadi seorang pertapa ?” beliau bertanya dengan reaksi yang berlebihan sehingga semua orang yang tinggal di dalam rumah itu mendengarnya dan ikut berteriak, “ Berita Baru ! Tuan tanah telah menjadi seorang pertapa !”
Orang-orang yang mendengar keributan itu segera datang berkumpul di depan pintu untuk mencari tahu apa yang terjadi.” Tuan tanah yang tinggal disini telah menjadi pertapa!” hanya itulah yang mereka dengar.
Sedangkan Sang Tuan tanah itu, setelah mendengar khutbah dari Sang Buddha, dalam perjalanannya untuk kembali ke kota. Di tengah perjalanan, seorang laki-laki berjumpa dengannya dan berkata, “Mengapa Tuan ? mereka mengatakan Anda telah menjadi seorang pertapa dan seluruh keluargamu, pelayanmu sedang menangis di rumah ?”
Kemudian pikiran-pikiran ini melintas di kepalanya, “ Orang-orang mengatakan bahwa saya telah menjadi pertapa meskipun saya tidak melakukan hal seperti itu, Sebuah ucapan yang tidak boleh diabaikan begitu saja; hari ini juga saya akan menjadi seorang pertapa.”
Dia langsung berbalik kembali menuju ke vihara dan bertemu dengan Sang Guru, “ Tadi Anda telah mengunjungi Sang Buddha dan saya telah melihatmu pulang” kata Sang Guru,” Apa yang membawa mu kembali lagi ke sini ?”
Sang Tuan tanahpun kemudian menceritakan kepada Sang Guru dan menambahkan, “Sebuah ucapan yang baik, Bhante, tidak boleh diabaikan. Demikianlah saya sekarang berada di sini dan saya berkeinginan untuk menjadi seorang pertapa”. Kemudian dia pun dithabiskan dan diupasampada dan menjalani kehidupan yang bijak. Dalam waktu singkat, dia pun mencapai tingkat Arahat.
Kisah ini pun diketahui oleh para Bhikkhu. Suatu hari, ketika mereka sedang membicarakannya demikian di dalam balai kebenaran” Avuso, si tuan tanah menjalankan kehidupan suci sebagai seorang pertapa karena dia mengatakan, “Suatu ucapan beruntung tidak boleh diabaikan dan sekarang dia mencapai tingkat kesucian Arahat” Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka memberitahu beliau. Kemudian Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, orang bijak di masa lampau juga menjadi seorang pertapa karena mereka mengatakan bahwa suatu ucapan yang baik tidak boleh diabaikan dan kembali menceritakan sebuah kisah masa lampau
Dahulu kala, ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai anak dari seorang saudagar kaya dan dia menggantikan kedudukan ayahnya setelah dewasa dan ayahnya meninggal.
Pernah sekali dia pergi mengunjungi raja dan ibunya yang memilliki kesulitan mendengar sedang mengunjungi anaknya dan apa yang terjadi kemudian sama dengan apa yang telah diceritakannya. Suaminya sedang dalam perjalanan pulang dari kunjungan istana ketika dia berjumpa dengan seorang di tengah jalan dan berkata, “mereka mengatakan anda telah menjadi seorang pertapa dan telah terjadi kegemparan di rumahmu”
Bodhisatta pun berpikir sama dengan si tuan tanah itu kalau ucapan yang baik tidak boleh diabaikan dan kemudian berbalik menjumpai Sang Raja. Raja menanyakan apa kenapa dia kembali dan dia berkata,
“Paduka, semua orang meratapiku, seperti yang diceritakan kepadaku karena saya telah menjadi seorang pertapa, padahal saya tidak melakukan hal seperti itu. Tetapi ucapan yang demikian baik itu tidak boleh diabaikan dan saya dengan ini meminta izin paduka untuk menjadi seorang pertapa!’ dan dia menjelaskan keadaannya dalam bait berikut :
Bodhisatta pun berpikir sama dengan si tuan tanah itu kalau ucapan yang baik tidak boleh diabaikan dan kemudian berbalik menjumpai Sang Raja. Raja menanyakan apa kenapa dia kembali dan dia berkata,
“Paduka, semua orang meratapiku, seperti yang diceritakan kepadaku karena saya telah menjadi seorang pertapa, padahal saya tidak melakukan hal seperti itu. Tetapi ucapan yang demikian baik itu tidak boleh diabaikan dan saya dengan ini meminta izin paduka untuk menjadi seorang pertapa!’ dan dia menjelaskan keadaannya dalam bait berikut :
Wahai Paduka, ketika orang mengelu-elukan kita didalam nama kesucian, maka kita pun harus melakukan demikianKita tidak boleh ragu-ragu dan tidak melakukannya; kita akan memikul akibatnyaWahai Paduka, nama ini telah dianugerahkan kepadaku; Hari ini mereka meratapai bagaimana saya menjadi pertapa suciKarena itu saya akan hidup dan mati sebagai pertapa; saya tidak lagi tertarik dengan nafsu dan kesenangan indriawi.
Demikianlah Bodhisatta memohon izin kepada raja untuk menjalankan kehidupan suci sebagai seorang pertapa suci dan pergi ke pergunungan Himalaya. Dia mengembangkan kesaktian, pencapaian meditas dan akhirnya terlahir kembali kea lam Brahma
Sang Guru, setelah menyampaikan uraian ini mempertautkan kisah kelahiran mereka. Pada masa itu Ananda adalah Sang Raja dan aku sendiri adalah anak dari pedagang kaya itu.
Posting Komentar