Kisah ini
diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang kitab suci
Mahā-maṅgala, atau buku tentang petanda. Di kota Rajagaha, dikarenakan sesuatu
hal sekelompok besar orang berkumpul di tempat peristirahatan kerajaan. Dan di
antara mereka ada seorang laki-laki yang bangkit dan berjalan keluar dengan
berkata, “Hari ini adalah hari dengan petanda baik.”
Orang lain
mendengarnya dan berkata, “Kalian dari tadi membicarakan tentang ‘petanda’; apa
maksudnya petanda itu?”
Orang yang
ketiga berkata, “Penglihatan terhadap segala sesuatu yang membawa keberuntungan
adalah petanda baik; misalnya seseorang bangun cepat di pagi hari dan melihat
seekor sapi yang benar-benar berwarna putih, atau seorang wanita dengan anak,
atau seekor ikan meraH atau sebuah kendi yang diisi penuh, atau keju yang baru
dibuat dari susu sapi, atau sebuah pakaian baru yang belum dicuci, atau bubur,
maka tidak ada petanda yang lebih baik lagi.”
Beberapa
dari pendengar di sana memuji penjelasan
ini: “Bagus sekali,” kata mereka.
Tetapi yang lainnya menyela, “Semua hal itu
bukan petanda. Apa yang Anda dengar itu adalah petanda. Seseorang mendengar
orang mengatakan ‘Sepenuhnya,’ kemudian ia mendengar ‘Tumbuh dengan sepenuhnya’
atau ‘Sedang tumbuh’ atau ia mendengar mereka mengatakan ‘Makan’ atau ‘Kunyah’
: tidak ada petanda yang lebih baik dari ini.”
Beberapa
pendengar berkata, “Bagus sekali,” dan memuji penjelasan ini. Yang lainnya
berkata, “Itu semua bukan petanda. Apa yang Anda sentuh itu adalah petanda.
Jika seseorang bangun pagi dan menyentuh tanah, atau menyentuh rumput hijau,
kotoran sapi yang masih baru, sebuah jubah yang bersih, seekor ikan merah, emas
atau perak, makanan; tidak ada petanda yang lebih baik dari ini.”
Mendengar
ini, beberapa pendengar juga setuju dengannya dan mengatakan bahwa itu bagus
sekali. Kemudian pendukung dari petanda penglihatan, petanda suara, petanda
sentuhan terbagi menjadi tiga kelompok dan tidak dapat saling meyakinkan. Mulai
dari dewa di bumi sampai ke alam Brahma, tidak ada yang dapat mengatakan dengan
pasti apa itu petanda.
Dewa Sakka
berpikir, “Tidak ada seorang pun diantara para dewa dan manusia, kecuali Sang
Bhagava yang dapat memecahkan pertanyaan tentang petanda ini. Saya akan pergi
menjumpai Beliau dan menanyakan pertanyaan ini.” Maka pada malam hari ia datang
mengunjungi Sang Bhagava, menyapa Beliau dan dengan merangkupkan kedua
tangannya memohon, ia menanyakan pertanyaan itu dimulai dengan, “Ada banyak
dewa dan manusia.”
Kemudian
Sang Guru memberitahu dirinya tentang tiga puluh delapan petanda yang dikatakan
dalam dua belas bait kalimat. Dan di saat beliau mengucapkan sutta tentang
petanda tersebut, para dewa sejumlah sepuluh ribu juta mencapai tingkat
kesucian, dan tidak terhitung jumlahnya diantara mereka yang mencapai tiga
jalan. Setelah Sakka mendengar tentang petanda itu, ia kembali ke tempat kediamannya
sendiri. Di saat Sang Guru selesai mengatakan tentang petanda itu, alam Manusia
dan alam Dewa menyetujuinya dan berkata, “Bagus sekali.”
Kemudian di
dhammasabhā, mereka memulai pembahasan tentang kebajikan Sang Tathagata:
“Āvuso, masalah tentang petanda itu berada diluar jangkauan pikiran yang lain,
tetapi Beliau dapat memahami hati para dewa dan manusia dan memecahkan keraguan
mereka, seperti memunculkan bulan di langit! Betapa bijaknya Sang Tathagata,
teman-temanku!” Sang Guru masuk datang dan menanyakan apa yang sedang mereka
bicarakan di sana. Mereka memberitahukan Beliau.
Beliau
berkata, “Bukanlah hal yang luar biasa, para bhikkhu, saya memecahkan
permasalahan tentang petanda tersebut karena saya memiliki kebijaksanaan yang
sempurna; bahkan ketika saya berjalan di bumi sebagai Bodhisatta, saya
memecahkan keraguan para dewa dan manusia juga dengan menjawab permasalahan
tentang Petanda.” Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah
masa lampau.
Dahulu kala
Bodhisatta terlahir di sebuah kota dalam sebuah keluarga brahmana yang kaya,
dan mereka memberinya nama Rakkhita-Kumāra. Setelah dewasa dan menyelesaikan
pendidikannya di Takkasila, ia menikahi seorang istri. Sepeninggal orang
tuanya, ia mewarisi harta kekayaannya, kemudian setelah berpikir panjang, ia
memberikannya sebagai derma, dan berusaha mengendalikan nafsunya, ia menjadi
seorang petapa di daerah pegunungan Himalaya, dimana ia mengembangkan kekuatan
supranatural dan tinggal di suatu tempat di sana bertahan hidup dengan memakan
akar dan buah-buahan yang terdapat di dalam hutan. Seiring berjalannya waktu,
pengikutnya menjadi banyak, terdapat lima ratus siswa yang tinggal dengannya.
Pada suatu
hari, para petapa tersebut datang kepada Bodhisatta dan menyapanya: “Bhante, di
saat musim hujan tiba, mari kita turun dari Gunung Himalaya dan berjalan ke
pedesaan untuk memperoleh bumbu garam; badan kita akan menjadi kuat dan kita
akan telah melakukan perjalanan kita.”
Ia berkata, “Baiklah, kalian boleh pergi, tetapi saya akan tetap tinggal
di tempat saya berada.” Maka mereka meminta izin darinya dan turun dari Gunung
Himalaya melakukan perjalanan sampai mereka tiba di Benares, dimana mereka
tinggal di dalam taman kerajaan. Mereka disambut dengan penuh kehormatan dan
keramah-tamahan.
Suatu hari
ada sekumpulan orang datang bersama di tempat peristirahatan kerajaan di
Benares dan masalah petanda itu dibahas. Semuanya terjadi sama seperti yang ada
di cerita pembuka di atas. Kemudian, sama seperti sebelumnya, kumpulan orang
tersebut melihat bahwa tidak ada yang dapat menenangkan dan menyelesaikan
masalah petanda ini, maka mereka menuju ke taman dan menanyakan permasalahan
mereka kepada rombongan orang bijak tersebut.
Para orang
bijak tersebut berkata kepada raja, “Raja yang agung, kami tidak dapat
memecahkan pertanyaan ini, tetapi guru kami, petapa Rakkhita, seseorang yang
sangat bijak, yang tinggal di Gunung Himalaya dapat memecahkannya dikarenakan
ia memahami pemikiran para dewa dan manusia.”
Raja berkata,
“Bhante, Gunung Himalaya letaknya jauh dan sulit dijangkau, kami tidak bisa
pergi ke sana. Apakah Bhante bersedia pergi ke tempat guru Anda dan
menanyakannya pertanyaan ini, dan ketika telah memahami jawabannya, Anda
kembali kemari dan memberitahukannya kepada kami?” Mereka berjanji untuk
melakukan ini.
Mereka kembali kepada guru mereka, menyapanya, dan ia menanyakan
tentang keadaan raja dan kegiatan penduduk. Kemudian mereka memberitahukannya
semua cerita tentang petanda melalui penglihatan dan seterusnya, mulai dari
awal sampai habis dan menjelaskan bagaimana mereka bisa kembali atas permintaan
raja untuk mendengar jawaban dari pertanyaan ini dengan telinga mereka sendiri.
“Bhante, tolong sekarang jelaskan masalah petanda ini kepada kami dan
beritahukan kami kebenarannya.” Kemudian siswa yang paling tua menanyakan
pertanyaannya dengan mengucapkan bait pertama berikut ini:
Babarkanlah kebenarannya kepada manusia yang kebingungan, Dan katakan sutta apa, atau kitab suci apa, Yang dipelajari dan dibabarkan pada saat yang baik, Memberikan berkah dalam kehidupan ini dan berikutnya?
Ketika siswa
tertua itu telah menanyakan masalah petanda itu, Sang Mahasatwa menjawab
keraguan dari para dewa dan manusia dengan mengatakan, “Ini dan ini adalah
petanda,” dan demikian menjelaskan tentang petanda dengan keahlian seorang
Buddha, berkata,
Barang siapa, para dewa dan semua manusia, Hewan melata dan semua makhluk yang dapat kita lihat, Kehormatan selamanya pada hati yang baik, Pastinya mendapatkan semua makhluk mendapat berkah.
Demikian
Sang Mahasatwa membabarkan tentang petanda yang pertama, dan kemudian
melanjutkan ke yang kedua dan sampai habis:
Barang siapa yang menunjukkan keceriaan yang sepantasnya kepada dunia, Kepada laki-laki dan wanita, putra dan putri tersayang, Yang tidak membalas perkataan yang mencela, Pasti ia mendapat berkah atas setiap teman.
Barang siapa yang pintar, bijak dalam masalah yang krisis, Tidak memandang rendah teman maupun sahabat, Tidak membedakan kelahiran, kebijaksanaan, kasta ataupun kekayaan, Berkah muncul di antara pasangannya.
Barang siapa yang memilih orang baik dan sejati untuk menjadi temannya, Yang dapat mempercayai dirinya, karena lidahnya tidak mengandung racun, Yang tidak pernah mencelakai seorang teman, yang dapat berbagi kekayaannya, Pasti ia mendapat berkah di antara teman-temannya.
Barang siapa yang istrinya ramah, memiliki usia yang sama, Berbakti, baik, dan membesarkan banyak anak, Setia, berbuat bajik, dan lahir terhormat, Itu adalah berkah yang muncul dalam diri para istri.
Barang siapa yang memilih rajanya dengan penguasa para makhluk, Yang mengetahui tentang kehidupan suci dan semua manfaatnya, Dan berkata, ‘Ia adalah temanku,’ tidak dengan tipu muslihat Itu adalah berkah yang ada bagi para raja.
Penganut yang sejati, memberikan minuman dan makanan, Bunga dan kalung bunga, minyak wangi, yang bagus, Dengan hati yang damai dan menyebarkan kebahagiaan di sekitarnya Hal ini yang membawa kebahagiaan di alam Surga.
Barang siapa yang oleh orang bijak cara hidup bajik yang bagus, mencoba Dengan segala daya upaya untuk mensucikan, Orang yang baik dan bijak, membangun hidup yang tenang, Berkah akan tetap mengikutinya.”
Demikianlah
Sang Mahasatwa membawa ajarannya sampai ke tingkat tertinggi dalam tingkat
kesucian. Setelah menjelaskan tentang petanda dalam delapan bait di atas, ia
mengucapkan bait terakhir berikut ini untuk memuji petanda yang sama itu:
Berkah-berkah
ini, yang diberikan di dunia ini, Dihormati oleh para orang bijak dan orang
besar, Biarkan ia yang bijak mengikuti jejak berkah ini, Karena di dalam
petanda tidak ada kebenaran sama sekali.
Para orang
suci tersebut tinggal selama tujuh atau delapan hari setelah mendengar tentang
petanda ini, dan kemudian pergi kembali ke tempat yang sama.
Raja datang
mengunjungi mereka dan menanyakan pertanyaannya. Mereka menjelaskan permasalahan
petanda tersebut sama persis dengan bagaimana itu dijelaskan kepada mereka, dan
kemudian kembali ke Gunung Himalaya.
Mulai saat itu, masalah mengenai petanda
dimengerti di dunia ini. Dan karena telah memahami tentang permasalahan petanda
tersebut, mereka yang meninggal masing-masing terlahir di alam Surga.
Bodhisatta mengembangkan Kesempurnaan, dan bersama dengan rombongan pengikutnya
mengalami tumimbal lahir di alam Brahma.
------
Setelah Sang Guru menyampaikan
uraiannya, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau
saya menjelaskan permasalahan petanda ini.” dan kemudian Beliau mempertautkan
kisah kelahiran ini—“Pada masa itu, rombongan pengikut Sang Buddha adalah
rombongan orang suci; [79] Sariputta adalah siswa yang paling tua, yang
menanyakan pertanyaan tentang petanda, dan saya sendiri adalah guru.”
Posting Komentar