Dikatakan
pada waktu itu raja Suddhodana yang agung memberikan makanan berupa bubur beras
kepada Buddha Gotama yang memimpin rombongan dua puluh ribu orang pengikut. Di
sela waktu mereka makan, raja Suddhodana berbicara dengan ramah kepada beliau
dengan berkata, “Tuan, di saat perjuangan Anda, ada beberapa dewa yang dating kepadaku,
dengan melayang di udara, berkata, ‘Putra Anda, Pangeran Siddharta telah mati
karena kelaparan.”
Dan Sang
Guru berkata, “Apakah Anda mempercayainya, raja yang agung?”
“Bhante,
saya tidak mempercayainya! Bahkan ketika dewa itu berputar-putar di udara dan
memberitahukan ini kepadaku, saya tidak mempercayainya dengan mengatakan bahwa
tidak akan ada kematian bagi putraku sampai ia mencapai penerangan sempurna di
bawah pohon bodhi.”
Sang Guru
berkata, “Raja yang agung, di masa lampau di zaman Dhammapāla yang agung,
bahkan ketika seorang guru yang sangat terkenal berkata—‘Putra Anda telah mati,
ini adalah tulang belulangnya,’ Anda tidak mempercayainya dengan menjawab, ‘Di
dalam keluarga kami, tidak ada yang mati muda,’ mengapa Anda harus
mempercayainya sekarang ini?” dan atas permintaan ayahnya, Beliau menceritakan
sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala
ketika Brahmadatta menjadi raja Benares, ada sebuah desa yang bernama
Dhammapāla di kerajaan Kasi, desa itu mengambil nama tersebut karena keluarga
dari seorang Dhammapāla tinggal di sana. Dari tindakannya yang selalu tidak
bertentangan sepuluh jalan yang benar, brahmana ini dikenal di tempat
tinggalnya dengan nama Dhammapāla, atau si Penjaga Dhamma. Dalam kehidupan
rumah tangganya, bahkan pelayannya juga berdana, menjaga sila, dan melaksanakan
laku uposatha.
Pada waktu
itu, Bodhisatta terlahir di dalam kehidupan rumah tangga tersebut, dan mereka
memberinya nama Dhammapāla-Kumāra, Penjaga Dhamma yang lebih muda. Jadi begitu
ia beranjak dewasa, ayahnya memberikan seribu keping uang kepadanya dan mengirimnya
belajar ke Takkasila. Ia pun pergi ke sana dan belajar dengan seorang guru yang
sangat terkenal, dan menjadi siswa utama dalam kumpulan lima ratus siswa muda
lainnya.
Kemudian
putra tertua dari guru tersebut meninggal, dan guru tersebut, dengan
dikelilingi oleh para siswanya, di tengah-tengah sanak saudaranya, menangis
dalam upacara pemakaman anaknya di kuburan. Kemudian guru tersebut dengan semua
sanak keluarganya, para siswanya meratap dan menangis, hanya Dhammapāla yang
tidak meratap ataupun menangis.
Sekembalinya dari kuburan, kelima ratus siswa
itu duduk di hadapan guru mereka dan berkata, “Ah, anak yang demikian bagus,
baik, seorang anak yang lembut, meninggal di usia muda dan terpisah dari ayah
dan ibu!” Dhammapāla berkata, “Lembut, seperti yang Anda katakan! Baiklah,
mengapa ia meninggal di usia muda? Tidaklah benar bagi anak yang berusia muda
meninggal.”
Kemudian
mereka berkata kepadanya, “Mengapa, Tuan, Anda tidak tahu bahwa manusia itu
tidak kekal?”
“Saya tahu
hal itu, tetapi mereka tidak meninggal di usia muda; manusia meninggal ketika
mereka menua.”
“Kalau
begitu, bukankah semua benda itu adalah sementara dan tidak nyata?”
“Benar,
semua benda itu hanyalah sementara; tetapi mereka tidak meninggal di usia muda,
mereka meninggal ketika mereka menua.”
“Oh, apakah
itu adat dari keluargamu?”
“Ya, itu
adalah adat dari keluarga kami.” Para siswa itu memberitahukan percakapan ini
kepada guru mereka. Ia kemudian memanggil Dhammapāla dan bertanya kepadanya,
“Anakku, Dhammapāla, apakah benar bahwasannya di dalam keluarga Anda tidak ada
yang mati muda?” “Ya, guru,” jawabnya, “itu benar.”
Setelah
mendengar ini, guru itu berpikir, “Yang dikatakannya ini adalah sebuah hal yang
luar biasa! Saya akan mengunjungi ayahnya dan bertanya kepadanya tentang ini.
Jika hal ini terbukti benar, saya akan hidup sesuai dengan aturannya yang
benar.”
Jadi setelah
ia menyiapkan apa yang harus dilakukan untuk putranya, setelah tujuh atau
delapan hari, ia memanggil Dhammapāla dan berkata, “Anakku, saya akan pergi ke
suatu tempat. Selagi saya pergi, Anda yang akan memimpin para siswa ini.”
Sehabis berkata demikian. ia mengambil tulang dari seekor kambing liar,
mencuci dan memberikan minyak wangi, kemudian meletakkannya di dalam sebuah
tas. Dengan membawa seorang pembantu pria yang kecil dengannya, ia pergi dari
Takkasila dan tiba di desa tersebut. Di sana ia bertanya jalan ke rumah
Mahā-Dhammapāla, dan akhirnya sampai di depan pintu.
Pelayan
brahmana tersebut yang pertama kali melihatnya, siapapun itu, membawanya terlindung
dari sinar matahari, membawa sepatunya dan mengambil tasnya dari pelayannya. Ia
meminta mereka untuk memberitahukan ayah dari anak laki-laki ini bahwa guru
yang mengajar putranya, Dhammapāla, sedang menunggunya di sini.
“Baiklah,” kata
pelayannya dan membawakan ayahnya ke hadapan dirinya. Dengan cepat, ia tiba di
sana dan berkata, “Masuklah!” sambil menunjukkan jalan ke dalam rumah tersebut.
Setelah mempersilahkan tamunya duduk di kursi, ia pun melaksanakan kewajiban
seorang tuan rumah dengan mencuci kakinya, dan seterusnya.
Ketika
gurunya telah selesai makan dan mereka sedang berbicara dengan ramah
bersama-sama, ia berkata, “Brahmana, putra Anda, Dhammapāla Muda, yang penuh
dengan kebijaksanaan, yang dapat menguasai tiga kitab Veda dan Delapan belas
tingkat pencapaian, telah meninggal dalam kecelakaan yang tidak diinginkan.
Semua benda itu adalah bersifat sementara, jangan berduka karenanya!” Brahmana
itu menepuk tangannya dan tertawa dengan keras.
“Mengapa
Anda tertawa, brahmana?” tanya yang lainnya. Ia berkata,
“Karena yang
meninggal itu bukanlah anakku. Itu adalah anak orang lain.”
“Tidak,
brahmana, putra Anda sudah mati, bukan orang lain. Lihatlah tulang belulangnya
ini dan percayalah akan hal ini.”
“Mungkin ini
adalah tulang dari kambing liar atau hewan sejenis lainnya, atau seekor anjing.
Tetapi anakku masih tetap hidup. Dalam keluarga kami, selama tujuh keturunan
tidak pernah terjadi hal yang demikian yaitu mati di usia muda. Dan apa yang
katakan itu tidak benar.” Kemudian mereka menepuk tangan mereka dan tertawa
dengan keras.
Guru
tersebut ketika mengetahui kebenaran tentang hal ini menjadi gembira dan
berkata, “Brahmana, adat dalam keluarga Anda ini pasti ada alasannya, bahwa
orang tidak mati di usia muda. Mengapa demikian?” dan ia menanyakan pertanyaannya
dengan mengucapkan bait pertama berikut ini:
Adat apakah itu, atau jalan suci apa, Dikarenakan kebajikan apa sehingga menghasilkan buah seperti ini? Beritahu saya, O brahmana, apa alasannya, Di dalam silsilah keluarga Anda tidak ada yang mati muda!”
Kemudian
brahmana itu mengucapkan bait-bait kalimat berikut ini untuk menjelaskan
kebajikan apa yang mengakibatkan munculnya keadaan ini:
Kami berjalan dalam kebenaran, kami tidak berbohong, Kami menjauhi semua perbuatan dosa yang jahat dan kejam, Kami menghindar dari segala bentuk perbuatan jahat, Oleh karena itu, tak seorang pun dari kami yang mati di usia muda.
Kami mendengar tentang perbuatan yang bodoh dan yang bijak; Kami tidak memperhatikan apa yang dilakukan oleh orang bodoh, Kami meniru perbuatan orang yang bijak, meninggalkan yang bodoh;Oleh karena itu, tak seorang pun dari kami yang mati di usia muda.
Sebelum memberikan dana, kami merasa bahagia; Di saat memberikan kami juga merasa sangat bahagia; Setelah memberi, kami tidak merasa sedih: Oleh karena itu, tak seorang pun dari kami yang mati di usia muda.
Para petapa, brahmana, dan pengembara kami layani, Pengemis, peminta-minta, dan semua orang yang membutuhkan, Kami berikan minum, dan bagi yang lapar kami berikan makanan: Oleh karena itu, tak seorang pun dari kami yang mati di usia muda.
Setelah menikah, kami tidak melirik kepada istri yang lainnya lagi, Tetapi kami setia dengan janji pernikahan kami; Dan istri kami juga setia kepada kami: Oleh karena itu, tak seorang pun dari kami yang mati di usia muda
Anak-anak yang lahir dari para istri yang setia ini Akan menjadi sangat bijaksana, sebagai bibit yang mau belajar, Syair kalimat dalam kitab Veda, dan menguasai semuanya. Oleh karena itu, tak seorang pun dari kami yang mati di usia muda.
Masing-masing dari kami selalu mencoba untuk berbuat bajik untuk mencapai alam Surga: Demikianlah cara hidup ayah, cara hidup ibu, Cara hidup putra dan putri, saudara perempuan dan saudara laki-laki: Oleh karena itu, tak seorang pun dari kami yang mati di usia muda.
Pelayan kami juga berusaha untuk mencapai alam Surga ;Menjalani kehidupan mereka dengan kebajikan, baik yang pria maupun yang wanita, Para pembantu, pelayan dan semua budak lainnya: Oleh karena itu, tak seorang pun dari kami yang mati di usia muda.
Dan untuk
terakhir kalinya, dengan dua bait kalimat berikut ia memaparkan tentang
kebaikan dari mereka yang berjalan di jalan kebenaran:
Kebenaran menyelamatkan ia yang melakukan perbuatan salah di sana; Kebenaran yang dipraktikkan dengan benar akan membawakan kebahagiaan; Mereka terberkati, yang melakukan ini dengan benar— Orang yang berbuat benar tidak akan dijatuhi hukuman.
Kebenaran menyelamatkan yang berbuat benar, seperti sebuat tempat berlindung; Yang melindungi di saat hujan: anak itu masih hidup. Kebajikan memberikan keselamatan bagi Dhammapāla; Tulang belulang yang Anda bawakan ini adalah milik makhluk yang lainnya.”
Setelah
mendengar semua perkataan ini, guru itu menjawab, “Perjalananku ini adalah
perjalanan yang membahagiakan, yang membuahkan hasil, tidak tanpa hasil!”
Kemudian dipenuhi dengan kebahagiaan, ia meminta maaf kepada ayah Dhammapāla
dan menambahkan, “Saya datang kemari dengan membawa tulang kambing liar ini,
dengan sengaja untuk menguji Anda. Putra Anda saat ini berada dalam keadaan
baik dan sehat. Saya mohon Anda dapat memberitahu saya cara kalian menjalani
kehidupan.”
Kemudian
brahmana itu menuliskannya di atas sehelai daun, dan setelah tinggal di tempat
itu selama beberapa hari, ia kembali ke Takkasila. Setelah mengajari Dhammapāla
dalam beragam keahlian dan ilmu pengetahuan, ia melepaskannya dengan memimpin
rombongan besar siswanya.
------
Setelah Sang
Guru selesai meyampaikan uraian ini kepada Raja Suddhodana yang agung, Beliau
memaparkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran ini: (Di akhir
kebenarannya, raja itu mencapai tingkat anagami:)—“Pada masa itu, ibu dan ayah
itu adalah sanak saudara dari Maharaja, guru itu adalah Sariputta, rombongan
itu adalah rombongan Sang Buddha, dan saya sendiri adalah Dhammapāla Muda.”
Posting Komentar