Saat ini disebutkan, ia bangkit dan mengambil sebilah
rumput, dengan berkata, “Saya tidak dapat melihat sesuatu yang bagus yang telah
dilakukan petapa Gotama kepadaku, bahkan tidak dalam jumlah ini!” Mereka
membicarakan ini di Balai Kebenaran (dhammasabhā).
Ketika Sang Guru datang, Beliau menanyakan apa yang sedang
dibahas bersama. Mereka memberitahu-Nya. Beliau berkata, “Para bhikkhu, ini
bukanlah yang pertama kalinya, tetapi di masa lampau juga Devadatta adalah
orang yang tidak tahu berterima kasih dan suka bermusuhan dengan teman.” Dan
berikut ini Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
*****
Dahulu kala ada seorang raja agung yang bernama Magadha
berkuasa di Rajagaha. Dan seorang saudagar dari kota itu yang membawa ke rumah
putri dari saudagar lainnya di negeri lain untuk dijadikan istri bagi putranya.
Tetapi wanita ini mandul. Seiring berjalannya waktu, ia menjadi tidak begitu
dihormati disebabkan oleh alasan ini. Mereka semua membicarakan ini, yang
kemungkinan didengar olehnya, “Selagi ada seorang istri yang mandul di dalam
kehidupan rumah tangga anak kita, bagaimana bisa menjaga garis keturunan
keluarga?”
Ketika pembicaraan ini sampai ke telinga wanita tersebut, ia
berpikir, “Oh, baiklah, saya akan berpura-pura hamil dan memperdayai mereka.”
Maka ia bertanya kepada seorang perawat tuanya yang baik, “Apa yang biasa
dilakukan oleh wanita hamil?” Setelah diberitahukan apa yang harus dilakukan
seorang ibu untuk melindungi anaknya, menutupi waktu menstruasinya, ia
berpura-pura untuk menginginkan rasa yang masam dan yang tidak lazim. Di saat
lengan dan kakinya harus mengalami pembengkakan, ia membuatnya bengkak dengan
cara memukul tangan, kaki, dan punggung.
Hari demi hari, ia mengikat perutnya dengan kain dan pakaian
agar tetap kelihatan membesar. Ia juga menghitamkan kedua puting susunya, dan
ia hanya mengizinkan perawat tua tersebut untuk berada di kamar mandinya.
Suaminya kemudian memberikan perhatian yang memang seharusnya diberikan pada
keadaan itu. Setelah sembilan bulan berlalu dalam cara ini, ia mengatakan
keinginannya untuk pulang ke rumahnya sendiri dan melahirkan di rumah orang
tuanya sendiri. Maka setelah berpamitan dengan kedua mertuanya, ia naik ke
dalam kereta dan dengan diikuti sejumlah banyak pengawal meninggalkan kota
Rajagaha di belakangnya dan tetap berjalan maju ke depan.
Waktu itu ada sebuah rombongan karavan yang berjalan di
depan kereta wanita ini. Ia biasanya akan pergi makan sarapan pagi di tempat
yang baru saja disinggahi rombongan tersebut. Malam sebelumnya, seorang wanita
miskin yang merupakan salah satu rombongan karavan itu melahirkan seorang putra
di bawah pohon beringin. Wanita miskin ini berpikir bahwa tanpa karavan itu, ia
tidak akan dapat bertahan hidup, dan ia kemungkinan akan dapat bertemu dengan
anaknya lagi jika ia tetap hidup. Maka ia membungkus anaknya itu dengan selimut
dan meninggalkannya berbaring sendirian di sana, di bawah pohon beringin. Dan
dewa pohon tersebut yang menjaga bayi itu. Bayi itu bukanlah seorang anak
biasa, melainkan ia adalah Bodhisatta yang telah datang ke dunia dalam bentuk
itu.
Di saat waktunya sarapan pagi, rombongan pejalan tersebut
tiba di tempat yang sama. Wanita itu beserta perawatnya duduk berteduh di bawah
pohon beringin tersebut, mereka melihat seorang bayi yang memiliki warna kulit
keemasan berbaring di sana. Akhirnya ia mengatakan kepada perawatnya bahwa
tujuan mereka sudah tercapai, melepaskan ikatan di perutnya, dan mengatakan
bahwa bayi itu adalah miliknya sendiri; baru saja dilahirkannya.
Para pengawal tersebut dengan segera membuat tenda untuk
melindunginya, dan dengan perasaan yang amat gembira, mereka mengirim surat
kembali ke Rajagaha. Mertuanya menulis surat balasan kepadanya dengan
mengatakan ia tidak perlu pergi ke rumah orang tuanya karena bayinya telah
lahir. Maka ia langsung kembali ke Rajagaha. Dan mereka pun mengakui anak
tersebut, dan memberinya nama yang artinya sama dengan Pohon Beringin Yang
Besar atau Nigrodha Kumāra. Di hari yang sama, menantu wanita dari seorang
saudagar juga melahirkan seorang putra di saat perjalanannya untuk melahirkan
di rumah orang tuanya sendiri; dan mereka memberinya nama dengan Sākha-Kumāra,
si Penguasa Cabang Pohon. Dan di hari yang sama juga, istri dari seorang
penjahit yang bekerja di tempat saudagar tersebut melahirkan seorang putra di
tengah-tengah tumpukan kain, dan mereka memberinya nama Pottika atau Dollie.
Saudagar agung tersebut memanggil kedua anak itu karena
telah lahir di hari yang sama dengan Pohon Beringin Yang Besar, dan membesarkan
mereka bersama dengannya. Mereka semua tumbuh dewasa bersama dan akhirnya pergi
ke Takkasila untuk menyelesaikan pendidikan. Kedua anak saudagar itu harus
membayar dua ribu keping uang kepada guru mereka; sedangkan Pohon Beringin Yang
Besar mengajari Pottika dengan pengetahuan yang didapatkannya dari sana.
Ketika telah menyelesaikan pendidikan, mereka berpamitan
dengan guru mereka dan pergi meninggalkan dirinya. Dengan tujuan untuk
mempelajari adat dari para penduduk kota, dan dengan mengembara akhiranya
mereka sampai ke kota Benares dan duduk beristirahat di sebuah vihāra (vihara).
Waktu itu adalah hari ketujuh setelah raja Benares meninggal.
Pengumuman diberitakan ke seluruh kota dengan membunyikan
drum bahwa kereta pemakamannya akan disiapkan besok. Ketiga sahabat tersebut
sedang berbaring tertidur di bawah sebuah pohon. Di saat hari menjelang fajar,
Pottika terbangun dan duduk bersandar di kaki Pohon Beringin. Ada dua ekor ayam
jantan yang bertengger di pohon itu; ayam yang ada di bagian atas pohon
membuang kotoran yang jatuh tepat di atas kepala ayam yang berada di bawah
pohon.
“Apa ini yang jatuh di atas kepalaku?” tanya ayam ini.
“Jangan marah, Tuan,” jawab yang satunya lagi,
“Saya tidak sengaja melakukannya.”
“Oh, jadi Anda pikir diriku ini adalah tempat penampungan
kotoranmu! Anda tidak tahu betapa pentingnya diriku ini, padahal itu sudah
jelas!”
“Oho, masih tetap marah meskipun sudah saya katakan tidak
sengaja melakukannya! Dan apa yang penting dari dirimu?”
“Siapa saja yang menyembelih dan memakan dagingku akan
mendapatkan uang seribu keping di pagi ini juga! Bukankah itu merupakan suatu
hal yang patut dibanggakan?”
“Pooh, pooh, bangga dengan hal kecil seperti itu! Mengapa
demikian, karena jika siapa saja menyembelih dan memakan lemak dagingku, ia
akan menjadi seorang Raja di pagi hari ini juga; kemudian yang memakan daging
bagian tengah akan menjadi Panglima Tertinggi; yang memakan daging dengan
tulangku akan menjadi Bendahara!”
Semua ini terdengar oleh Pottika. “Uang seribu keping—” pikirnya,
“Apa itu? Lebih baik menjadi raja!” Maka dengan pelan ia memanjat pohon
tersebut dan menangkap ayam yang bertengger di bagian atas dan membunuhnya
kemudian memasaknya di dalam bara api; lemak dagingnya diberikan kepada si
Beringin, daging bagian tengah diberikan kepada si Cabang Pohon dan dirinya
sendiri makan daging dengan tulangnya. Setelah mereka selesai makan, ia
berkata, “Beringin, Tuan, hari ini Anda akan menjadi raja; Cabang Pohon, Tuan,
Anda akan menjadi panglima tertinggi; dan diriku sendiri akan menjadi
bendahara!” Mereka menanyakan bagaimana ia mengetahuinya dan ia pun
memberitahukan mereka.
Maka di saat waktunya tiba untuk makan siang, mereka masuk
ke kota Benares. Di rumah seorang brahmana mereka mendapatkan makanan berupa
nasi, dengan mentega cair dan gula. Sesudahnya itu, mereka masuk ke taman
kerajaan di saat mereka ingin keluar dari kota tersebut. Beringin berbaring di atas potongan batu yang
tebal dan yang dua lagi berbaring di sampingnya. Pada waktu itu, mereka baru
saja akan pergi dengan membawa kereta upacara pemakaman tersebut, dengan lima
lambang kekuasaan raja di dalamnya. Kereta itu berjalan masuk, berhenti dan
diam bersiap-siap untuk mereka masuk.
“Makhluk yang memiliki kebajikan besar pasti ada di sekitar
sini,” pikir pendeta kerajaan tersebut sendiri. Ia masuk ke dalam taman dan
melihat pemuda itu. Kemudian ia mengangkat naik kain yang menutupi kaki pemuda
itu dan memeriksa tanda-tanda yang ada.
Ia berkata, “Mengapa membiarkan kota Benares tidak memiliki
pemimpin di saat ada pemuda ini yang ditakdirkan menjadi raja di seluruh
Jambudīpa (India)?” dan ia memerintahkan untuk membunyikan gong dan simbal.
Beringin terbangun dan menurunkan kembali kain yang tadinya
menutupi wajahnya dan melihat kumpulan orang ramai mengelilingi dirinya! Ia
berbalik dan diam sejenak, kemudian bangun dan duduk bersila. Petapa itu
berlutut dengan satu kaki sambil berkata,
“Makhluk mulia, kerajaan ini adalah
milik Anda!” “Memang begitu,” kata pemuda tersebut. Petapa itu mendudukkannya
di tumpukan batu permata yang berharga dan menobatkannya sebagai raja.
Setelah menjadi raja, ia memberikan jabatan panglima
tertinggi kepada temannya, Cabang Pohon, yang memasuki kota dengan gagahnya;
dan Pottika ikut pergi dengan mereka. Mulai dari hari itu, Sang Mahasatwa
memerintah di Benares dengan adil.
Suatu hari, ingatan akan orang tuanya muncul dalam pikiran
dan ia menyapa Cabang Pohon dengan berkata, “Tuan, tidak mungkin kita hidup tanpa
ayah dan ibu; bawalah rombongan pengawal bersamamu dan jemput mereka datang.”
Tetapi si Cabang Pohon menolaknya, “Itu bukan urusanku.” Kemudian raja meminta
Pottika untuk melakukannya. Pottika menyetujuinya. Ia pergi ke tempat orang tua
Beringin dan memberitahukan mereka bahwa putranya telah menjadi seorang raja
dan meminta mereka untuk ikut bersamanya. Tetapi mereka menolaknya dengan
alasan mereka sudah memiliki kekuasaan dan kekayaan di sana dan sudah merasa
cukup dengan itu jadi mereka tidak akan pergi. Ia juga meminta orang tua si
Cabang Pohon untuk ikut dengannya dan mereka juga lebih suka tinggal di sana
saja; dan ketika ia meminta orang tuanya sendiri untuk ikut dengannya, mereka
berkata, “Kami hidup dari hasil menjahit; cukup, cukup,” dan menolaknya sama
seperti yang lain.
Karena tidak berhasil membujuk mereka untuk ikut dengannya,
Pottika kembali ke Benares. Dengan berpikir untuk istirahat di rumah panglima
dari lelahnya melakukan perjalanan sebelum menjumpai Beringin, ia pun pergi ke
rumah panglima.
“Beritahu panglima,” katanya kepada penjaga pintu,” bahwa
temannya, Pottika, ada di sini.” Penjaga itu pun melakukan apa yang
diperintahkannya. Akan tetapi Cabang Pohon itu telah menaruh dendam kepadanya
karena ia memberikan kerajaan itu bukan kepada dirinya melainkan kepada
temannya yang satu lagi, yaitu si Beringin.
Maka ketika ia mendengar pesan dari
penjaga pintunya, ia menjadi marah. “Teman katanya! Siapa yang menjadi
temannya? Dasar orang gila! Tangkap ia!” Maka mereka pun memukul, menendang,
dan menghantamnya dengan kaki, lutut dan sikut, kemudian menjerat lehernya dan
membuangnya ke depan.
Pottika berpikir, “Si Cabang Pohon mendapatkan posisi
panglima ini karena diriku. Sekarang ia menjadi tidak tahu berterima kasih,
mendendam, dan menyuruh pengawalnya memukulku serta menyeretku ke depan.
Beringin adalah orang yang bijak, tahu berterima kasih dan baik. Saya akan
pergi mencarinya.” Maka ia pergi ke tempat raja dan memberikan pesan untuk
disampaikan kepada raja bahwa temannya, Pottika, sedang menunggu di luar pintu.
Raja menyuruhnya masuk dan ketika melihatnya mendekat, ia
bangkit dari tempat duduknya dan menyambutnya dengan cinta kasih. Ia meminta
pengawalnya untuk membersihkan diri Pottika dan melayaninya, memberinya
perhiasan beraneka ragam bentuk, memberinya berbagai jenis daging untuk
dimakan. Setelah semuanya itu selesai dikerjakan, ia duduk bersama dengannya
dan menanyakan tentang kabar orang tuanya yang didengarnya tidak bersedia
datang bersamanya.
Waktu itu Cabang Pohon berpikir sendiri, “Pottika akan
menjelek-jelekkan diriku di hadapan raja, tetapi jika saya pergi ke sana, ia
tidak akan bisa berbicara,” maka ia juga pergi ke sana. Dan Pottika mengatakan
kepada raja meskipun ada Cabang Pohon di sana, “Paduka, sewaktu saya merasa
lelah dalam perjalananku, saya pergi ke rumah Cabang Pohon dengan harapan dapat
beristirahat sejenak di sana dan kemudian nantinya baru menjumpai Anda. Tetapi
ia berkata, ‘Saya tidak mengenalnya!’ dan memperlakukan diriku dengan kejam,
menyeret leherku keluar ke depan! Bisakah Anda mempercayainya ini!” dan dengan
perkataan ini, ia mengucapkan tiga bait kalimat berikut:
Siapa laki-laki itu? Saya tidak mengenalnya! Dan siapa ayah laki-laki itu?’ demikian kata Sākha :Nigrodha, bagaimana menurutmu?
Kemudian pengawalnya memukulku atas perintah Sākha itu, Dan menyeret leherku dan membuangku keluar dari tempatnya.
Perbuatan tidak setia kawan yang demikian hanya dapat dilakukan oleh orang yang berhati iblis! Orang memalukan yang tidak tahu berterima kasih, O raja—dan ia adalah temanmu, juga!
Setelah mendengar ini, Beringin mengucapkan bait keempat
berikut ini:
Saya tidak tahu, ataupun mendengar dari siapapun, Tentang perlakuan yang demikian buruk yang dilakukan oleh Sākha.
Anda pernah tinggal bersamaku dan juga Sākha; kami berdua adalah temanmu; Anda memberikan kami masing-masing satu bagian dari kerajaan ini: Karena Anda kami mendapatkan kemuliaan, dan itu tidak diragukan.
Seperti biji yang dibakar di dalam api, ia akan terbakar, dan tidak dapat tumbuh; Melakukan hal yang baik kepada orang yang jahat, itu akan membuatnya binasa.
Mereka bukan yang tahu berterima kasih, baik, dan berbudi luhur; Di tanah yang gembur, benih pasti akan tumbuh; perbuatan bajik tidak akan hilang dari dalam diri orang yang baik.
Selagi Beringin mengucapkan bait kalimat ini, Cabang Pohon
berdiri tegak tidak bergerak. Kemudian raja bertanya kepadanya, “Bagaimana,
Cabang Pohon, Anda mengenali laki-laki ini, Pottika?” Ia menjadi bisu. Dan raja
mengeluarkan perintah dalam bait kedelapan berikut ini:
Tangkap pengkhianat yang tak berharga ini, yang memiliki pemikiran yang begitu jahat; Tusuk dirinya! Karena saya menginginkan ia mati—karena hidupnya tidak berarti apapun bagiku!
Tetapi Pottika berpikir dalam dirinya sendiri ketika
mendengar perintah ini—“Jangan biarkan orang dungu ini mati karena diriku!” dan
ia mengucapkan bait kesembilan berikut ini:
Raja yang agung, berbelas kasihlah! Sekali kehidupan pergi, susah membawanya kembali: Paduka, maafkanlah dirinya dan biarkan ia hidup! Saya menginginkan dirinya tidak dilukai.
Ketika raja mendengar akan hal ini, ia pun memaafkan si
Cabang Pohon. Dan ia bermaksud untuk memberikan jabatan panglima tertinggi
kepada Pottika, tetapi ia tidak mau menerimanya. Kemudian raja tetap
memberikannya jabatan sebagai bendahara, dan dengan jabatan itu ia akan
memeriksa semua barang-barang para saudagar kota tersebut
Sebelumnya tidak ada
kantor yang bertugas demikian, dan sekarang akhirnya ada.
Pada akhirnya, Pottika, si bendahara kerajaan yang
dikaruniai dengan putra dan putri, mengucapkan bait terakhir berikut ini untuk
menasehati mereka:
Orang seharusnya tinggal bersama dengan Nigrodha; Melayani Sākha bukanlah merupakan hal yang baik. Lebih baik mati bersama dengan Nigrodha Daripada hidup bersama dengan Sākha.
-----
Uraiannya selesai di sini dan Sang Guru berkata, “Jadi, para
bhikkhu, Anda melihat bahwasannya di masa lampau Devadatta telah menunjukkan ia
adalah orang yang tidak tahu berterima kasih,” dan kemudian Beliau
mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Devadatta adalah Sākha
(Cabang Pohon), Ananda adalah Pottika dan saya sendiri adalah Nigrodha
(Beringin).”
Posting Komentar