Sang Guru
menceritakan kisah ini ketika berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang
mengabdikan dirinya dalam pembagian dana. Diceritakan bahwa bhikkhu ini
mencurahkan dirinya dalam pembagian dana, menjadi sangat ingin mulai dari waktu setelah ia selesai mendengar
khotbah Dhamma dan mengamalkannya. Ia tidak pernah habis memakan semangkuk nasi
kalau tidak dibagi dengan yang lain, bahkan ia juga tidak akan minum air kalau
ia tidak membaginya dengan yang lain; demikian larutnya ia dalam pembagian.
Kemudian mereka mulai membicarakan sifat baiknya itu di
dhammasabhā. Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan
di sana. Mereka memberitahukan Beliau. Setelah meminta orang memanggil bhikkhu
itu, Beliau bertanya kepadanya, “Apakah benar apa yang saya dengar, bhikkhu,
bahwa Anda begitu mengabdikan diri dalam pembagian dana, sangat ingin
berdana?” Ia menjawab, “Ya, Bhante.”
Sang Guru berkata lagi, “Di masa lampau, para bhikkhu,
laki-laki ini adalah orang yang tidak memiliki keyakinan dan kepercayaan, ia
tidak akan memberikan setetes air di ujung sehelai rumput kepada siapapun;
kemudian saya membuatnya sadar, mengubah cara berpikirnya dan juga membuat
dirinya menjadi rendah hati, mengajarkannya tentang hasil dari memberikan dana.
Dan hatinya yang demikian dermawan ini tidak hilang dari dirinya bahkan sampai
di kehidupannya yang lain.” Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan kisah
masa lampau.
******
Dahulu kala
ketika Brahmadatta berkuasa di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga
orang kaya. Setelah beranjak dewasa, ia mendapatkan harta bagiannya; dan
setelah ayahnya meninggal, ia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai seorang
saudagar.
Suatu hari
ketika ia melihat kembali harta kekayaannya, ia berpikir, “Harta kekayaan ada
di sini, tetapi dimana orang-orang yang mengumpulkannya? Saya harus
membagikan harta kekayaanku ini, dan memberikan derma.” Maka ia membangun sebuah
dānasālā. Semasa hidup, ia memberikan banyak derma dan ketika hari-harinya di dunia
sudah hampir habis, ia menugaskan putranya untuk tetap melakukan pemberian
derma. Setelah meninggal, ia tumimbal lahir menjadi Dewa Sakka di alam tiga
puluh tiga dewa (Tavatimsa). Dan putranya, yang juga memberikan derma sama
seperti ayahnya, terlahir menjadi Canda, sang Bulan, di antara para dewa. Dan
putra dari Canda terlahir menjadi Suriya, sang Matahari; putra dari Suriya
terlahir menjadi Mātali (Matali), si Penunggang Kereta; putra dari Matali
terlahir menjadi Pañcasikha, salah satu dari Gandhabba atau pemain musik di
alam Surga.
Akan tetapi
generasi yang keenam adalah orang yang tidak memiliki keyakinan, berhati keras,
tidak memiliki cinta kasih, sangat kikir. Ia menghancurkan dānasālā, memukuli
para pengemis dan mengusir mereka untuk melakukan pekerjaan mereka
masing-masing, ia bahkan tidak akan memberikan setetes air di ujung sehelai
rumput kepada siapapun.
Kemudian
Sakka, raja para dewa, melihat kembali perbuatannya di masa lampau sambil ingin
mencari tahu, “Apakah tradisi pemberian derma masih berlanjut atau tidak?”
Sewaktu memikirkan hal tersebut, ia mengetahui ini: “Putraku tetap melanjutkan
pemberian dermanya dan sekarang ia telah menjadi Canda; putranya menjadi
Suriya, dan putranya menjadi Matali, dan putranya menjadi Pañcasikha; tetapi keturunan
yang keenam telah menghancurkan tradisi ini.”
Kemudian terlintas dalam
pikirannya, ia akan membuat laki-laki yang berdosa ini menjadi sadar dan
mengajarkannya tentang pahala dari pemberian derma. Maka ia memanggil Canda,
Suriya, Matali, Pañcasikha, dan berkata, “Para dewa, keturunan keenam dari
keluarga kita telah menghancurkan tradisi keluarga kita; ia telah membakar
dānasālā, mengusir para pengemis dan tidak memberikan apapun kepada siapapun.
Mari kita menyadarkan dirinya!” Maka dengan mereka akhirnya ia menuju ke kota
Benares.
Pada waktu
itu, saudagar tersebut telah pergi menunggui raja. Sekembalinya dari istana, ia
berjalan lewat di pintu menara ketujuh sambil melihat ke arah jalan. Sakka
berkata kepada yang lainnya, “Kalian tunggu di sini ketika saya maju dan
kemudian satu per satu mengikutiku.” Setelah berkata demikian, ia maju dan
berdiri di hadapan saudagar kaya tersebut, ia berkata, “Hai, Tuan! Berikan saya
makanan!”—“Tidak ada yang dapat dimakan olehmu di sini, brahmana; pergilah ke
tempat lain.”
“Hai, Tuan
yang agung! Ketika brahmana meminta makanan, janganlah menolaknya!”
“Di rumahku,
brahmana, tidak masak makanan ataupun makanan yang dipersiapkan untuk dimasak;
pergilah!”
“Tuan yang
agung, saya akan membacakan satu bait puisi,—Dengar.”
“Saya tidak
menginginkan puisimu; pergilah, jangan hanya berdiri di sini.”
Tetapi Sakka
mengucapkan dua bait kalimat ini tanpa menghiraukan perkataannya:
Ketika tidak ada makanan di dalam tempayan, yang baik pasti akan mendapatkan, tanpa diragukan lagi: Dan Anda yang memasak! Bukanlah suatu hal yang bagus jika Anda tidak menyediakan makanan sekarang.
Ia yang
lalai dan kikir, akan diragukan: Tetapi ia yang menyukai kebajikan, akan
memberi, dan ia memiliki pikiran yang bijaksana.
Ketika
laki-laki ini mendengar hal ini, ia menjawab, “Baiklah, masuk dan duduklah.
Anda akan mendapatkan sedikit makanan. Selesai mengucapkan bait-bait tersebut,
Sakka masuk ke dalam dan duduk.
Kemudian
Canda datang dan meminta makanan. “Tidak ada makanan untukmu,” kata laki-laki
itu, “Pergilah!”
“Tuan yang
agung, ada seorang brahmana di dalam sana, menurutku pasti ada makanan gratis
buat brahmana itu, maka saya juga akan ikut masuk.”
“Tidak ada
makanan gratis bagi seorang brahmana!” kata laki-laki itu, “Pergilah Anda!”
Kemudian
Canda berkata, “Tuan besar, tolong dengarkan satu atau dua bait kalimat
berikut: (Kapan saja orang kikir yang mengerikan tidak memberikan apa-apa, hal
yang paling ia takuti akan muncul padanya karena ia tidak memberikan apa-apa:)—
“Ketika rasa takut akan kelaparan dan kehausan membuat jiwa orang yang kikir menjadi takut, Di dalam kehidupan ini atau berikutnya orang bodoh ini akan membayarnya.
Oleh karena
itu belajarlah memberikan derma,
bebaskan diri dari keserakahan, hilangkan benih keserakahan, Di kehidupan yang akan datang perbuatan bajik
orang yang demikian akan menuntunnya kepada kepastian.
Setelah
mendengar perkataan ini juga, laki-laki itu berkata, “Baiklah, masuk dan
makanlah sedikit.” Ia pun bergerak masuk dan duduk dengan Sakka.
Setelah
menunggu beberapa lama, Suriya datang dan meminta makanan dengan mengucapkan
dua bait kalimat berikut:
Hal ini sulit dilakukan sebagaimana yang dilakukan orang baik, yaitu memberi apa yang dapat mereka beri, Orang yang jahat tidak dapat mencontoh kehidupan yang dijalani oleh orang baik.
Dan
demikian, ketika yang baik dan yang jahat meninggalkan bumi ini, Yang jahat
akan terlahir di alam Neraka, dan yang baik akan terlahir di alam Surga.
Laki-laki
kaya tersebut yang tidak melihat ada bantahan dalam hal tersebut, berkata
kepadanya, “Baiklah, masuk dan duduk bersama dengan para brahmana ini. Anda
akan mendapatkan jatah makanan sedikit.”
Kemudian Matali muncul setelah
menunggu beberapa lama dan meminta makanan. Ketika ia diberitahu bahwa tidak
ada makanan, ia langsung mengucapkan bait kedelapan berikut ini:
Sebagian orang memberi mulai dari jumlah yang sedikit, sebagian lagi tidak memberi meskipun mempunyai simpanan yang banyak: Barang siapa yang memberi mulai dari jumlah kecil, lama-lama akan menjadi banyak.”
Laki-laki
itu juga berkata kepadanya, “Baiklah, masuk dan duduklah.”
Kemudian setelah
menunggu beberapa lama, Pañcasikha datang dan meminta makanan. “Tidak ada
makanan lagi, pergilah,” itulah balasan yang terdengar. Ia berkata, “Betapa banyak
tempat yang telah saya kunjungi! Pasti ada makanan gratis bagi para brahmana di sini .” Dan ia mulai
berkata kepadanya dengan mengucapkan bait Kedelapan berikut ini:
Bahkan ia yang hidup dengan memakan makanan sisa akan berbuat baik, Memberikan sedikit yang dimilikinya, meskipun ia sendiri memiliki anak; Uang ratusan ribu yang diberikan oleh harta kekayaan, Tidak dapat menandingi pemberian kecil dari orang yang demikian.
Mengapa pemberian yang kaya dan dermawan Tidak sebanding dengan pemberian yang benar, Bagaimana uang ribuan, yang diberikan oleh orang kaya, Tidak sebanding dengan pemberian orang yang miskin meskipun sedikit jumlahnya?
Dalam
menjawabnya, Pañcasikha mengucapkan bait terakhir berikut :
Sebagian orang menjalani hidup dengan jalan yang salah Menindas, dan menganiaya, kemudian baru memberikan kenyamanan:
Pemberian mereka yang keji dan pahit itu tidak bernilai Dibandingkan dengan pemberian yang benar. Demikian uang ribuan dari orang kaya tidak dapat Menandingi pemberian dari orang demikian meskipun sedikit jumlahnya.”
Setelah
mendengar nasehat dari Pañcasikha, laki-laki itu membalasnya dengan berkata,
“Baiklah, masuk ke dalam dan duduklah. Anda akan mendapatkan jatah makanan
sedikit.” Dan ia juga masuk ke dalam, duduk dengan yang lainnya.
Kemudian
saudagar kaya tersebut, Biḷārikosiya, memanggil pelayan wanitanya dan berkata,
“Berikan para brahmana yang ada di sana segenggam beras sekam.” Ia membawakan
nasinya dan mendekat kepada mereka, meminta mereka memasaknya sendiri dan
makan.
Mereka
berkata, “Kami belum pernah menyentuh beras sekam.
“Tuan,
mereka mengatakan bahwa mereka belum pernah menyentuh beras sekam!”
“Baiklah,
berikan mereka beras sekam.” Ia pun membawakan mereka beras dan meminta mereka
membawanya.
Mereka
berkata, “Kami tidak menerima makanan yang belum dimasak.”
“Tuan,
mereka mengatakan bahwa mereka tidak menerima makanan yang belum dimasak!
“Kalau
begitu, masak makanan sapi di dalam panci dan berikan itu kepada mereka.”
Ia memasak
makanan sapi di dalam panci dan membawakannya kepada mereka. Mereka berlima
mengambil satu suap dan memasukkannya ke dalam mulut, tetapi makanannya
tersangkut di tenggorokan; kemudian mata mereka seperti berputar-putar, menjadi
pingsan dan berbaring seolah-olah mereka mati. Pelayan wanita yang menyajikan
makanan tersebut yang melihat kejadian ini berpikir bahwa mereka pasti sudah
mati dan menjadi sangat takut, kemudian memberitahu saudagar itu dengan
mengatakan, “Tuan, para brahmana itu tidak dapat menelan makanan sapi, dan
sekarang mereka sudah meninggal!”
Saudagar itu berpikir, “Sekarang orang-orang
akan mencela diriku dengan mengatakan, orang jahat ini memberikan setumpuk
makanan sapi kepada para brahmana yang baik tersebut, yang tidak dapat mereka
telan dan akibatnya mereka meninggal!”
Kemudian ia
berkata kepada pelayannya, “Cepat ambil makanan itu dari patta mereka dan masak
nasi yang terbaik untuk ditaruh di dalamnya.” Pelayan itu mengerjakan apa yang
diperintahkan. Saudagar tersebut membawa beberapa orang yang berjalan lewat ke
dalam rumahnya, dan setelah mereka terkumpul agak banyak, ia berkata, “Saya
memberikan makanan kepada para brahmana ini sama dengan apa yang saya makan,
mereka makan dengan terlalu serakah dan memakan dengan suapan yang besar
sehingga saat mereka sedang makan, ada makanan yang tersangkut di tenggorokan
dan mereka meninggal. Saya membawa Anda sekalian kemari agar dapat menyaksikan
bahwa saya tidak bersalah.”
Para
brahmana itu bangkit di hadapan kerumunan orang banyak tersebut dan berkata,
“Lihatlah kebohongan yang dibuat saudagar ini! Katanya ia memberikan kami apa
yang dimakannya! Pada awalnya ia memberikan kami setumpuk makanan sapi dan
kemudian di saat kami terbaring tak sadarkan diri, baru ia memasak makanan
ini.” Dan mereka mengeluarkan makanan yang mereka makan dari dalam mulut dan
menunujukkannya.
Kerumunan
orang itu mencela saudagar tersebut, sambil meneriakkan, “Orang buta yang
dungu! Anda telah menghancurkan tradisi keluargamu; Anda telah membakar
dānasālā; Anda menyeret leher para pengemis dan mengusir mereka; dan sekarang
ketika memberikan makanan kepada para brahmana ini, Anda memberikan setumpuk
makanan sapi! Di saat Anda meninggal, menurutku, Anda akan membawa pergi semua
harta kekayaan di dalam rumahmu dengan mengikatnya di lehermu!”
Pada waktu
itu, Sakka bertanya kepada kerumunan orang tersebut, “Apakah kalian tahu milik
siapa harta kekayaan ini semuanya?”
“Kami tidak
tahu.”
“Kalian
pernah mendengar tentang seorang saudagar agung dari kota Benares, yang hidup
di kota ini sebelumnya dan membangun dānasālā tersebut serta banyak memberikan derma?”
“Kami pernah
mendengarnya.”
“Saya adalah
saudagar tersebut, dan dikarenakan jasa kebajikan tersebut sekarang saya
tumimbal lahir menjadi Sakka, raja para dewa; dan putraku, yang tidak
menghancurkan tradisi, menjadi seorang dewa, Canda; putranya adalah Suriya;
putranya adalah Matali; dan putranya adalah Pañcasikha; Yang di sana adalah
Canda, itu adalah Suriya, dan ini adalah Matali
si Penunggang Kereta dan yang ini lagi adalah Pañcasikha, seorang
pemusik di alam Surga, yang juga dalam kehidupan awamnya adalah ayah dari orang
yang jahat di sana! Demikianlah pahala dari memberikan derma. Oleh karena itu,
orang yang bijak harus melakukan kebajikan.” Setelah berbicara demikian, untuk
menghilangkan keraguan orang-orang tersebut, mereka melayang di udara dan tetap
berada di sana.
Dengan
kekuatan mereka yang besar terdapat sinar yang melingkari badan mereka sehingga
membuat kota kelihatan seperti sedang terbakar. Kemudian Sakka berkata kepada
kerumunan orang tersebut, “Kami meninggalkan kejayaan surgawi untuk datang
kemari, dan kami datang dikarenakan pendosa ini Biḷārikosiya, keturunan
terakhir dari keluarganya, si penghancur semua keluarganya. Kami datang karena
mengasihaninya, karena kami tahu bahwa pendosa ini telah menghancurkan tradisi
keluarga, membakar dānasālā, mengusir para pengemis dengan menyeret leher
mereka, dan melanggar adat keluarga kami. Dengan memberhentikan pemberian derma
itu akan menyebabkan dirinya tumimbal lahir di alam Neraka.” Demikianlah ia
berbicara kepada kerumunan orang banyak tersebut dengan mengatakan tentang
pahala dari pemberian derma.
Biḷārikosiya
merangkupkan kedua tangannya memohon dan mengucapkan sumpah; “Tuanku, mulai
saat ini saya tidak akan melanggar adat tradisi keluarga, saya akan memberikan
derma. Dan dimulai dari hari ini juga, saya tidak akan makan tanpa membagikan makananku kepada orang lain,
bahkan air minum dan pembersih gigi yang saya gunakan.”
Setelah
Sakka demikian membuatnya sadar, membuatnya berjanji kepada diri sendiri dan
membuatnya mematuhi Pancasila (Buddhis), ia kembali ke tempat kediaman sendiri
dengan membawa keempat dewa itu bersamanya. Akhirnya saudagar itu memberikan
derma sepanjang hidupnya dan terlahir di alam Tavatimsa.
-------
Sang Guru
berkata setelah menyampaikan uraiannya, “Demikianlah, para bhikkhu, upasaka ini
dulunya tidak memiliki keyakinan dan tidak pernah memberi kepada siapapun
meskipun secuil. Akan tetapi, saya membuatnya sadar dan mengajarkannya tentang
pahala dari pemberian derma, dan pikiran itu tidak meninggalkannya, bahkan
sampai di kehidupan yang selanjutnya.” Kemudian Beliau mempertautkan kisah
kelahiran ini: “Pada masa itu, upasaka yang dermawan ini adalah laki-laki kaya
tersebut, Sariputta adalah Canda, Mogallana adalah Suriya, Kassapa adalah
Matali, Ananda adalah Pañcasikha dan saya sendiri adalah Dewa Sakka.”
Posting Komentar