Kisah ini
diceritakan oleh Sang Guru ketika tinggal di Jetavana, tentang seorang tuan
tanah yang putranya meninggal. Di kota Savatthi, kita mengetahui bahwa kematian
merenggut nyawa putra dari seorang tuan tanah yang biasa melayani Sang Buddha.
Merasa menderita karena berduka atas kematian putranya, laki-laki itu tidak
mandi ataupun makan, tidak mengurusi pekerjaannya ataupun melayani Sang Buddha.
Ia hanya berteriak, “O anakku tercinta, Anda telah pergi dan meninggalkanku!”
Di suatu
pagi hari ketika Sang Guru sedang melihat keadaan dunia, beliau mengetahui
bahwa kamma laki-laki ini akan membuahkan ia mencapai tingkat kesucian
sotapanna. Maka keesokan harinya, setelah membawa rombongan bhikkhu
berpindapata di kota Savatthi dan setelah selesai makan, Beliau meminta
rombongan-Nya tersebut untuk pergi duluan, sedangkan ia dan Ananda Thera
berjalan ke tempat dimana laki-laki itu tinggal.
Mereka
memberitahukan tuan tanah tersebut bahwa Sang Guru telah tiba. Kemudian mereka
menyiapkan tempat duduk, mempersilahkan Beliau duduk dan membawa tuan tanah itu
ke hadapan Sang Guru. Ia memberikan salam hormat dan duduk di satu sisi,
kemudian Sang Guru menyapanya dengan suara lembut yang penuh cinta kasih:
“Apakah Anda berduka, Upasaka, karena putra tunggalmu itu?”
“Ya,
Bhante.”
“Di masa
lampau, Upasaka, orang bijak yang menderita dengan berduka atas kematian
putranya mendengar perkataan bijak dan mengerti dengan jelas bahwa tidak ada
yang dapat mengembalikan yang telah mati sehingga tidak bersedih lagi, walaupun
sedikit.” Setelah berkata demikian, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa
lampau atas permintaannya.
Dahulu kala
ketika Brahmadatta berkuasa di Benares, putra dari seorang brahmana yang sangat
kaya terserang penyakit di usia lima belas atau enam belas tahun sehingga
akhirnya meninggal dan mengalami tumimbal lahir di alam Dewa. Sejak kematian
putranya, brahmana ini selalu pergi ke kuburan, berkeluh kesah sambil berjalan
mengelilingi tumpukan abu. Ia tidak mengurusi pekerjaannya dan segala
kewajibannya, ia dipenuhi penderitaan.
Putra dewa
tersebut melihat ayah ini ketika sedang pergi melihat-lihat, dan merencanakan
sesuatu untuk menghilangkan penderitaannya. Ia datang ke kuburan tersebut di
saat laki-laki itu berkeluh kesah, dengan mengubah wujudnya menjadi persis
seperti putranya dan memakai berbagai macam hiasan. Ia berdiri di satu sisi,
memegang kepala dengan kedua tangannya dan meratap sedih dengan kuat.
Brahmana
tersebut yang mendengar suara tersebut, melihat sekeliling, dan dipenuhi dengan
perasaan cinta yang ia berikan kepada putranya ia berhenti di depannya dan
berkata, “Putraku tercinta, mengapa Anda berdiri sambil meratap dengan sedih di
tengah-tengah kuburan ini?” yang selanjutnya ia tanyakan dalam bait kalimat
berikut:
Mengapa di tanah hutan Anda berdiri di sini, Berkarangan bunga, dengan memakai anting-anting, Aroma wangi dari alas kaki Anda, dengan kedua tanganmu seperti itu? Kesedihan apa yang membuat Anda meneteskan air mata?”
Terbuat dari emas, dan selalu berkilau dengan terang Kereta kudaku, tempat biasa saya berbaring: Karena sepasang roda ini tidak bisa saya temukan; Oleh karenanya saya bersedih demikian sampai saya ingin mati!
Brahmana itu
mengucapkan bait ketiga setelah mendengar perkataannya:
Emas, atau dibuat dari permata, apapun itu, Perunggu atau perak, yang ada di dalam pikiranmu, Jangan hanya dikatakan, kita akan membuat kereta kuda, Dan saya akan menemukan sepasang roda tersebut!
Dalam
kebijaksanaan yang sempurna, Sang Guru mengucapkan baris pertama dari bait
berikut setelah mendengar perkataannya di atas Brahmana
muda itu menjawab, ketika ia telah selesai
Sedangkan
pemuda itu mengucapkan sisa bait kalimatnya itu:
Saudara, di atas sana terdapat bulan dan matahari! Dengan sepasang roda seperti dua benda di sana itu Kereta emasku mendapatkan pancaran sinarnya!
Anda adalah orang bodoh karena telah melakukan ini dan itu, Meminta sesuatu yang tidak perlu dikerjakan oleh orang lain; Pemuda, menurutku keinginanmu harus segera musnah, Karena Anda tidak akan pernah mendapatkan bulan ataupun matahari!”
Di depan
mata kita, mereka terbenam dan terbit, berwarna dan menghilang: Tidak ada yang
dapat melihat roh di sini: kalau begitu siapa yang lebih bodoh dalam
kesedihannya?
Demikian
perkataan dari pemuda tersebut. Dan brahmana tersebut mengucapkan sebuah bait
kalimat setelah mengerti:
Di antara dua orang yang berduka, O pemuda yang bijak, Sayalah yang lebih bodoh—yang Anda katakan benar, Dalam kesedihan mengharapkan roh dari orang yang mati, Seperti seorang anak yang menangis meminta bulan, benarnya!”
Kemudian
brahmana tersebut yang merasa sangat terhibur dengan perkataan pemuda itu, Menyampaikan
terima kasihnya dengan mengucapkan sisa bait kalimat berikut ini:
Tadinya diriku terbakar, seperti orang yang menuangkan minyak ke dalam api: Anda membawakan air, melegakan rasa sakit dari nafsu keinginanku.
Duka atas putraku—panah yang kejam tinggal di hatiku; Anda telah menghiburku dari kesedihan, dan mencabut duri tersebut. Duri itu telah dicabut, bebas dari penderitaan, saya sekarang menjadi santai dan tenang; Mendengar, O pemuda, kata-kata Anda yang benar saya tidak lagi bersedih ataupun menangis.
Kemudian
pemuda itu berkata, “Saya adalah putra yang tadi Anda tangisi, brahmana; saya
mengalami tumimbal lahir di alam Dewa. Oleh karena itu, jangan bersedih lagi
karena diriku. Berdanalah, jagalah sila dan laksanakanlah laku uposatha.” Setelah
memberikan nasehat demikian, ia kembali ke tempat kediamannya sendiri. Dan
brahmana itu kembali ke rumahnya. Setelah demikian banyak memberikan dana dan
melakukan kebajikan lainnya, ia pun meninggal dan terlahir di alam Dewa.
Setelah
uraiannya selesai, Sang Guru memaparkan kebenarannya dan mempertautkan kisah
kelahiran ini: (Di akhir kebenarannya, tuan tanah itu mencapai kesucian
sotapanna:) “Pada masa itu, saya sendiri adalah putra dewa yang mengucapkan
nasehat ini.”
Posting Komentar