Dikatakan,
waktu itu Sang Guru sedang mengembara berjalan kaki dengan rombongan Bhikkhu di Nigrodha Arama pada sore hari. Setibanya di suatu tempat di sana, Beliau tersenyum. Ānanda
Thera berkata, “Apa yang menjadi penyebab, apa yang menjadi alasan bagi Sang
Bhagavā tersenyum?
Sang
Tathāgata (Tathagata) tidak akan tersenyum tanpa alasan. Saya akan bertanya
kepada Beliau.”
Maka
dengan cara yang sopan, Ananda bertanya kepada Beliau tentang senyuman itu.
Kemudian Sang Guru berkata kepadanya, “Ananda, di masa lampau ada seorang suci bernama Kaṇha
yang tinggal di bumi ini dengan bermeditasi, dan mencapai jhāna (jhana) dalam
meditasinya; dan dengan kekuatan dari sila-nya tempat kediaman Dewa Sakka
tergoyahkan.”
Tetapi
karena pembicaraan tentang senyuman ini tidak begitu jelas, Beliau menceritakan
kisah masa lampau tersebut atas permintaan Ananda.
******
Dahulu
kala ketika Brahmadatta berkuasa di Benares, ada seorang brahmana yang tidak
mempunyai anak tetapi memiliki harta kekayaan sebesar delapan ratus juta rupee.
Ia mengambil sumpah untuk selalu melaksanakan sila bila
dikaruniai seorang anak. Dan oleh karenanya, Bodhisatta terlahir di
dalam kandungan istri brahmana itu. Disebabkan oleh warna kulitnya yang gelap,
mereka menamakan anak itu Kaṇha- Kumāra, artinya si Hitam Yang Muda.
Di
usia enam belas tahun, ia memiliki semua keindahan dengan penampilan yang
kelihatan seperti sebuah batu permata yang berharga dan ia dikirim oleh ayahnya
ke Takkasilā (Takkasila), dimana ia mempelajari semua ilmu pengetahuan. Setelah
selesai belajar, ia kembali lagi. Kemudian ayahnya mencarikan seorang istri
untuk dirinya.Dan pada akhirnya ia mewarisi semua harta benda milik orang
tuanya.
Pada
suatu hari, setelah ia selesai memeriksa tempat penyimpanan harta kekayaannya,
ia meletakkan sebuah piring emas di tangannya dan membaca baris-baris kalimat
ini yang terdapat di piring tersebut selagi ia duduk di dipan yang sangat
bagus, “Demikianlah jumlah harta kekayaan yang dikumpulkan oleh satu orang,
demikian banyak oleh yang lain,” ia berpikir, “Mereka
yang mengumpulkan harta kekayaan ini tidak ada di dunia ini lagi, tetapi
kekayaannya masih dapat terlihat. Tidak ada seorangpun yang dapat membawa harta
ini bersamanya ke tempat mereka pergi; kita tidak dapat mengikat harta kekayaan
dalam satu bundelan dan membawanya bersama ke kehidupan berikutnya.”
“Dengan
melihat bahwa hal ini berkaitan dengan lima perbuatan jahat, memberikan harta
ini sebagai dana adalah hal yang lebih baik. Dengan melihat bahwa tubuh yang
sia-sia ini dapat dipenuhi dengan berbagai jenis penyakit, dapat menghormati
dan menjalankan sila adalah hal yang lebih baik. Dengan melihat bahwa kehidupan
ini hanyalah untuk sementara waktu saja, mencari pengetahuan spiritual adalah
hal yang lebih baik. Oleh karena itu, harta kekayaan yang sia-sia ini akan
kubagikan sebagai derma dan dengan melakukan hal yang demikian saya mungkin
akan mendapatkan bagian yang lebih baik.”
Maka
ia bangkit dari tempat ia duduk,membagikan kekayaannya secara cuma-cuma
sebagai derma setelah sebelumnya mendapat izin dari raja. Di hari ketujuh karena melihat tidak ada pengurangan yang
berarti dalam harta kekayaannya, ia berpikir, “Apa arti kekayaan ini bagi
diriku? Selagi belum dikuasai usia tua, sekarang saya akan mengambil sumpah
petapa (menjadi seorang petapa), saya akan mengembangkan kesaktian dan
pencapaian meditasi, saya akan tumimbal lahir di alam Brahma!”
Maka ia membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan meminta
orang-orang mengambil apa saja sesuka hati. Memandang hartanya itu sebagai hal
yang tidak bersih, ia meninggalkan nafsu inderawi yang ditimbulkan oleh mata.
Di tengah-tengah ratapan dan tangisan dari orang banyak, ia pergi keluar dari
kota tersebut sampai ke daerah pegunungan Himalaya.
Di sana ia menjalani hidup menyendiri dengan mencari tempat
yang nyaman untuk ditempati, ia menemukan tempat dimana ia memilih untuk
tinggal, dengan memilih pohon labu untuk makanan. Ia menjadi penghuni hutan
yang tidak pernah tinggal di desa, ia tidak membuat sebuah gubuk daun, hanya
tinggal di bawah kaki pohon tersebut, di tempat terbuka, dengan posisi duduk;
ketika ia ingin berbaring, ia akan berbaring di atas tanah; tidak menggunakan
alu atau alat apapun selain giginya untuk menghaluskan makanan, memakan makanan
yang tidak dimasak dengan api, dan bahkan tidak pernah sama sekali nasi masuk
ke dalam mulutnya, makan hanya satu kali dalam satu hari dan melakukan
kegiatannya hanya dengan duduk. Ia hidup di atas tanah, seolah-olah ia seperti
menyatu dengan3 keempat unsur menjalankan kebajikan seorang petapa. Di dalam
kelahiran itu, seperti yang kita pelajari, Bodhisatta hanya memiliki sedikit
keinginan.
Tidak lama tinggal di sana, ia mencapai kesaktian dan
pengembangan meditasi itu, dan berdiam di tempat tersebut dalam kebahagiaan
pencapaian jhana. Untuk mendapatkan buah-buahan (yang tumbuh) liar, ia tidak
akan pergi ke tempat lain; ketika pohon tempat ia tinggal berbuah, ia makan
buah; ketika bunga yang tumbuh, ia makan bunga; ketika daun yang tumbuh, ia
makan daun; ketika tidak ada daun, ia makan kulit pohon.
Demikianlah ia tinggal lama di tempat itu dengan perasaan
puas yang tinggi. Di pagi hari, biasanya ia memetik buah dari pohon itu. Ia
tidak pernah dikarenakan keserakahan bangkit dari pohon itu dan memetik buah
dari pohon lain. Di tempat ia duduk, ia hanya dengan menjulurkan tangannya
untuk memetik buah yang berada dalam jangkauan tangannya. Buah itu akan dimakan
semuanya tanpa membedakan yang enak maupun yang tidak. Karena ia tetap merasa
gembira melakukan ini, dikarenakan kekuatan silanya, tahta marmar kuning Dewa
Sakka menjadi panas.
(Dikatakan,tahta ini menjadi panas ketika kehidupan dari Dewa Sakka hampir berakhir atau ketika jasa kebajikannya sudah hampir habis, atau ketika ada makhluk agung berdoa, disebabkan
keberhasilan seorang
petapa dalam kebajikan atau ketika ada brahmana yang penuh dengan segala kemampuan )
Kemudian Dewa Sakka berpikir, “Siapa gerangan ini
yang akan membuatku turun tahta sekarang?”
Setelah memeriksa sekeliling, ia melihat Yang Suci Kaṇha yang tinggal di dalam hutan di suatu tempat sedang memetik buah, dan mengetahui bahwa di sana adalah orang suci yang sangat sederhana, meninggalkan semua kesenangan inderawi. Ia berpikir, “Saya akan pergi menemuinya. Saya akan membuatnya memberikan wejangan dengan bunyi trumpet dan setelah mendengar ajaran yang memberikan kedamaian itu, saya akan memuaskannya dengan anugerah, membuat pohonnya itu berbuah tiada henti baru saya akan kembali kemari.”
Setelah memeriksa sekeliling, ia melihat Yang Suci Kaṇha yang tinggal di dalam hutan di suatu tempat sedang memetik buah, dan mengetahui bahwa di sana adalah orang suci yang sangat sederhana, meninggalkan semua kesenangan inderawi. Ia berpikir, “Saya akan pergi menemuinya. Saya akan membuatnya memberikan wejangan dengan bunyi trumpet dan setelah mendengar ajaran yang memberikan kedamaian itu, saya akan memuaskannya dengan anugerah, membuat pohonnya itu berbuah tiada henti baru saya akan kembali kemari.”
Kemudian
dengan kekuatan agungnya ia turun dari tahtanya menuju ke sana. Ia berdiri di
akar pohon itu di belakang orang suci tersebut dan mengucapkan bait pertama
berikut ini tentang rupa buruknya untuk menguji apakah dirinya akan marah atau
tidak:
“Melihat
laki-laki di sana, semuanya berwarna hitam, yang tinggal di tempat gelap ini,
Hitam juga adalah makanan yang dimakannyadiriku tidak menyukainya!”
Kaṇha
hitam mendengar perkataan ini. “Siapa ini yang berbicara kepadaku?—” Dengan
pengetahuan batinnya, ia mengetahui bahwa itu adalah Dewa Sakka. Dengan tanpa
berpaling ke belakang, ia menjawabnya dengan mengucapkan bait kedua berikut
ini:
“O Sakka, lihatlah, meskipun berwarna hitam gelap, tetapi brahmana ini benar di hati: Jika seseorang melakukan perbuatan dosa, ia menjadi hitam, bukan di warna kulitnya.”
Dan kemudian setelah menjelaskan beberapa macam
hal yang menyebabkan makhluk hidup menjadi hitam dan
memuji kebaikan dari kebajikan, ia memberikan khotbah kepada Dewa
Sakka seolah-olah seperti ia dapat membuat bulan muncul di langit.
Mendengar
khotbahnya tersebut, Sakka merasa terpikat dan bahagia. Ia menawarkan anugerah
kepada Sang Mahasatwa dengan mengucapkan bait ketiga berikut ini:
“Brahmana, berbicara dengan baik, dengan mulia, dengan sangat baik menjawab: Katakan apa yang Anda inginkan—seperti yang diminta oleh hatimu, jadi buatlah pilihan Anda.”
Ketika mendengar
ini, Sang Mahasatwa berpikir demikian dalam dirinya sendiri, “Saya tahu apa tujuan
pertanyaan itu sebenarnya. Dia tadinya menguji diriku untuk melihat apakah saya
akan menjadi marah ketika ia mengatakan tentang kejelekanku. Oleh karena itu,
ia mengolok-olok warna kulitku, makananku, tempat tinggalku. Merasa bahwa
melihat diriku tidak menjadi marah, ia menjadi senang dan menawarkan anugerah
kepadaku. Tidak diragukan lagi ia pasti berpikir saya melatih jalan kehidupan
ini dikarenakan keinginan untuk menjadi Dewa Sakka atau Brahma.”
“Dan
untuk membuatnya yakin, saya akan memilih empat hadiah berikut:agar saya
menjadi tenang, agar saya tidak memiliki kebencian atau niat jahat terhadap
makhluk lain, agar saya tidak memiliki keserakahan terhadap kemuliaan tetangga
saya, dan agar saya tidak memiliki nafsu keinginan terhadap tetangga saya.”
Setelah berpikir demikian, orang bijak itu mengucapkan bait keempat berikut
untuk memecahkan keraguan Dewa Sakka dan juga untuk meminta keempat anugerah
tersebut:
“Sakka,
Tuan semua makhluk hidup, kabulkanlah harapan saya, Sehingga kelakuan saya
bebas dari kemarahan, bebas dari kebencian, bebas dari keserakahan. Semoga saya
bebas dari nafsu. Inilah empat harapan saya.
Berikut
ini Sakka berpikir, “Kaṇha yang suci memilih empat berkah tak bercela sebagai anugerahnya. Saya akan
menanyakan apa yang baik dan apa yang buruk dari keempat hal tersebut.”
Dan ia menanyakan pertanyaan dengan mengucapkan bait kelima berikut ini:
“Brahmana memilih untuk bebas dari kemarahan, bebas dari kebencian, bebas dari keserakahan, dan bebas dari nafsu. Hal buruk apa yang terdapat dalam semua hal itu? kumohon jawablah ini.”
“Dengarlah ini kalau begitu,” jawab Sang Mahasatwa dan ia mengucapkan keempat bait berikut ini:
“Karena kebencian, keinginan jahat, tumbuh dari kecil sampai besar, Kehidupan selalu dipenuhi penderitaan, oleh karenanya, saya menginginkan tidak ada kebencian.
“Hal ini selalu terjadi dengan orang jahat: pertama dengan kata-kata, kemudian menyentuh yang kita lihat, Kemudian dengan pukulan, dan alat pemukul, dan yang terakhir dengan senjata: Dimana ada kemarahan, selalu ada kebencian–oleh karenanya, saya menginginkan tidak ada kemarahan.
“Ketika orang berlomba-lomba memiliki sesuatu dengan serakah, akan menimbulkan penipuan dan kecurangan, Dan juga memunculkan penjarahan yang kejam–oleh karenanya, saya menginginkan tidak ada keserakahan.
“Keras pastinya belenggu yang disebabkan oleh nafsu, yang tumbuh dengan subur. Dalam hati, membuahkan penderitaan–oleh karenanya, saya menginginkan tidak ada nafsu.”
Setelah
pertanyaannya dijawab, Sakka membalas, “Kaṇha yang bijaksana, pertanyaanku dijawab dengan bagus oleh Anda, dengan keahlian seorang Buddha. Saya merasa sangat senang dengan
Anda, sekarang pilih anugerah lainnya,” dan ia mengucapkan bait kesepuluh
berikut ini:
“Brahmana, berbicara dengan baik, dengan mulia, dengan sangat baik menjawab: Katakan apa yang Anda inginkan—seperti yang diminta oleh hatimu, jadi buatlah pilihan Anda.”
Dengan
segera, Bodhisatta mengucapkan satu bait kalimat berikut ini:
“O Sakka, Tuan semua makhluk hidup, Anda memintaku membuat pilihan. Di hutan ini tempat saya tinggal, dimana saya tinggal sendirian, Kabulkanlah agar tidak ada penyakit yang mengganggu kedamaianku, atau merusak ketenanganku.”
Setelah mendengar ini, Sakka berpikir, “Kaṇha
yang bijak, dalam memilih hadiah, tidak memilih hal-hal yang berhubungan dengan
makanan. Semua yang dipilihnya berhubungan dengan kehidupan suci.” Karena
merasa senang dan makin senang lagi, ia memberikannya satu lagi pilihan
anugerah dan mengucapkan satu bait lain:
“Brahmana, berbicara dengan baik, dengan mulia, dengan sangat baik menjawab: Katakan apa yang Anda inginkan—seperti yang diminta oleh hatimu, jadi buatlah pilihan Anda.”
Dan
Bodhisatta dalam mengatakan pilihan hadiahnya, memaparkan ajarannya dalam bait
terakhir ini:
“O Sakka, Tuan semua makhluk hidup, Anda memintaku membuat sebuah pilihan hadiah. Semoga tidak ada makhluk apapun yang dicelakai olehku, O Sakka, dimanapun, Baik oleh tubuhku atau oleh pikiranku: Sakka, inilah permintaanku.”
Demikianlah Sang Mahasatwa membuat pilihan
anugerah dalam enam kesempatan memilih hadiah permintaan, hanya memilih hal
yang berhubungan dengan kehidupan yang meninggalkan kehidupan duniawi. Ia
mengetahui dengan jelas bahwa tubuh ini pasti akan dipenuhi dengan penyakit dan
Sakka tidak dapat mengatasi penyakit tersebut, dan tidak dengan
kebohongan Sakka dapat membersihkan makhluk hidup di tiga tempat;
Walaupun demikian, ia tetap membuat pilihan
hadiahnya seperti itu sampai akhirnya ia memiliki kesempatan untuk memaparkan
Dhamma kepada Dewa Sakka. Dan akhirnya Dewa Sakka membuat pohon itu berbuah
selamanya. Dewa Sakka memberikan salam hormat kepadanya, menyentuh kepalanya
dengan kedua tangan dirangkupkan, ia berkata, “Tinggallah di sini selamanya
dengan terbebas dari penyakit,” kemudian kembali ke tempat kediamannya sendiri.
Bodhisatta, yang tidak meninggalkan latihannya dalam pencapaian jhana, tumimbal
lahir di alam Brahma.
------
Setelah
uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru berkata, “Ananda, ini adalah tempat
dimana saya tinggal sebelumnya,” dan kemudian mempertautkan kisah kelahiran
ini: “Pada masa itu, Anuruddha adalah Dewa Sakka dan saya sendiri adalah Kaṇha
yang bijaksana.”
Posting Komentar