Kisah ini diceritakan oleh
Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang pemberian semua benda kebutuhan
para bhikkhu. Dikatakan bahwa di kota Savatthi ada seorang upasaka yang hatinya
menjadi gembira setelah mendengar khotbah Dhamma dari Sang Tathagata. Ia
mengundang Beliau datang keesokan harinya.
Di depan pintunya ia membuat sebuah paviliun, dihias dengan indah, dan
mengirim orang menjemput Beliau. Sang Guru datang diikuti oleh rombongan lima
ratus bhikkhu, dan Beliau duduk di tempat yang telah disiapkan untuk-Nya.
Upasaka itu yang telah memberikan persembahan yang banyak kepada rombongan bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Buddha,
meminta mereka datang kembali keesokan harinya. Demikian selama tujuh hari, ia
mengundang mereka dan memberikan hadiah, serta di hari ketujuh memberikan semua
kebutuhan seorang bhikkhu.
Dalam pemberian ini, ia memberikan hadiah khusus berupa sepatu. Sepatu
yang diberikan kepada Sang Buddha bernilai seribu keping uang, sepatu yang
diberikan kepada dua siswa utama-Nya bernilai lima ratus keping uang, dan
sepatu yang diberikan kepada bhikkhu lainnya bernilai seratus keping uang. Dan
setelah pemberian ini diberikan kepada semua bhikkhu tersebut, ia duduk di
hadapan Sang Bhagava bersama dengan rombongan-Nya.
Kemudian Sang Guru menyatakan terima kasih-Nya dengan nada suara yang
manis: “Saudara (Upāsaka), Anda bermurah hati dalam memberikan ini semua, bergembiralah.
Di masa lampau, sebelum kelahiran Sang Buddha di dunia ini, ada orang yang
memberikan dana berupa sepasang sepatu kepada seorang Pacceka Buddha. Dan
sebagai hasil dari pemberiannya tersebut, orang itu mendapatkan tempat
berlindung di lautan dimana seharusnya tidak bisa mendapatkan tempat
berlindung. Dan sekarang Anda telah memberikan semua yang dibutuhkan oleh
seorang bhikkhu kepada semua rombongan Sang Buddha—bagaimana nantinya pemberian
sepatu Anda menjadi tempat berlindungmu?” dan atas permintaannya, Beliau
menceritakan sebuah kisah masa lampau.
******
Dahulu kala kota Benares bernama Molinī. Ketika Brahmadatta berkuasa di
Molinī sebagai raja, ada seorang brahmana yang bernama Saṁkha, kaya, dan
memiliki banyak harta kekayaan, membangun Balai Distribusi Dana (dānasālā) di
enam tempat, satu di masing-masing empat pintu gerbang kota, satu di tengahnya,
dan satu di pintu rumahnya. Setiap hari ia memberikan enam ratus ribu keping
uang, dan juga memberikan dana yang banyak kepada pengembara dan pengemis.
Pada suatu hari ia berpikir sendiri, “Di saat persediaan harta
kekayaanku habis, saya tidak akan mempunyai apa-apa lagi untuk diberikan
sebagai dana. Selagi hartaku belum habis saat ini, saya akan naik kapal dan
berlayar ke negeri emas 10, dimana saya akan membawa kembali kekayaanku.” Maka
ia menyuruh orang untuk membuat sebuah kapal; setelah selesai, ia mengisinya
dengan barang-barang dagangan; di saat ia berpamitan dengan anak dan istrinya,
ia berkata, “Jangan berhenti memberikan dana sampai saya kembali.” Ia mengambil
payung untuk melindunginya dari sinar matahari, memakai sepatunya, dan
berangkat dengan beberapa pengawalnya di tengah hari.
Pada waktu itu, seorang Pacceka Buddha yang sedang bermeditasi di
Gunung Gandha-mādana melihat pemuda ini dalam usahanya mencari kekayaan, dan
beliau berpikir, “Seorang pemuda sedang berlayar mencari kekayaan. Akankah ada
sesuatu di lautan yang akan merintanginya atau tidak? Akan ada, Bila ia
melihatku, ia akan memberikan sepatu dan payungnya sebagai pemberian dana
kepadaku. Dan sebagai hasil dari perbuatannya tersebut, ia akan mendapatkan
tempat berlindung di saat kapalnya karam di laut. Saya akan membantunya.”
Maka dengan terbang melayang di udara, beliau turun tidak jauh dari si
pemuda petualang tersebut, dan bergerak menemuinya dengan berjalan di atas
tanah yang panasnya seperti bara api, hembusan angin yang kuat, ditambah dengan
teriknya sinar matahari. Brahmana itu berpikir, “Ini adalah kesempatan untuk
berbuat kebajikan. Di sini saya harus menanam benih kebajikan hari ini.” Dengan
segera dalam kegembiraan yang amat sangat, ia menyapa dan menemui beliau.
“Bhante, berhentilah berjalan sebentar dan duduk di bawah pohon ini.”
Ketika beliau berjalan ke bawah pohon tersebut, brahmana itu
membersihkan pasir yang ada untuknya, membentangkan jubah luarnya dan
mempersilakan beliau duduk. Dengan air yang wangi dan jernih ia membasuh kaki
beliau, membasuh tubuhnya dengan minyak yang wangi. Ia menanggalkan sepatunya,
membersihkan sepatu itu dan mengelapnya dengan minyak yang wangi kemudian
memakaikannya di kaki beliau. Ia mempersembahkan sepatu dan payung kepadanya,
dengan berpesan untuk selalu memakai sepatunya dan memberi payung untuk
melindungi dirinya ketika berjalan.
Sedangkan Pacceka Buddha untuk membuatnya merasa gembira, menerima
hadiahnya dan ketika brahmana itu memandangnya untuk menambah keyakinan
dirinya, beliau terbang melayang di udara dan pergi menuju Gandha-mādana. Di
sisi yang lain, Bodhisatta merasa gembira dalam hatinya dan kembali ke
pelabuhan untuk naik ke kapalnya.
Ketika mereka harus menghadapi laut yang luas, di hari ketujuh kapalnya
mulai bocor dan mereka tidak bisa membuang airnya keluar dengan bersih dari
kapal. Semua orang yang mengkhawatirkan hidup mereka, mulai berteriak dengan
keras, dengan memohon pada dewa mereka masing-masing.
Sang Mahasatwa memilih satu pengawalnya, dan setelah melumeri seluruh
tubuhnya menggunakan minyak ia memakan segumpal gula bubuk dengan mentega cair
(gi) sebanyak yang ia inginkan. Kemudian ia juga memberikannya kepada pengawalnya
tersebut dan memanjat tiang kapal. Ia berkata, “Kota kita berada di arah sana,”
sembari menunjuk ke arah tersebut. Dengan menghilangkan semua rasa takutnya
terhadap ikan dan penyu di laut, ia menyelam bersama pengawalnya itu ke
kedalaman lebih dari satu usabha11.
Sedangkan rombongan besar orang lainnya mati. Sang Mahasatwa bersama
dengan pengawalnya itu mulai mengarungi lautan. Selama tujuh hari, ia terus
berenang, bahkan ia juga menjalankan hari puasa, membasuh mulutnya dengan air
asin.
Pada waktu itu ada seorang dewi yang bernama Maṇi mekhalā, yang
berwujud batu permata, sebelumnya telah diperintahkan oleh empat dewa penguasa
dunia sebagai berikut, “Jika dikarenakan karamnya kapal, bahaya mendatangi
orang-orang yang yakin terhadap Ti-Ratana, atau yang selalu melakukan
kebajikan, atau yang berbakti kepada orang tuanya, Anda harus menyelamatkan
orang-orang yang demikian.” Dan untuk melaksanakan tugasnya melindungi
orang-orang yang demikian, dewi itu berjaga di lautan. Dengan kekuatan dewinya,
ia tidak melihat kejadian apa-apa dalam tujuh hari.
Akan tetapi di hari ketujuh sewaktu ia memeriksa lautan itu, ia melihat
brahmana Saṁkha yang bajik tersebut, dan ia berpikir, “Ini adalah hari ketujuh
bagi pemuda ini terapung di laut. Jika ia meninggal, kesalahanku akan menjadi
sangat besar.” Dengan merasa sangat cemas dalam hatinya, ia mengisi sebuah
piring emas dengan semua makanan dewa. Kemudian bergerak dengan secepat angin
mendekati brahmana tersebut, berhenti di depannya dengan melayang di udara, ia
berkata, “Brahmana, sudah tujuh hari Anda tidak memakan apapun, makanlah ini!”
Brahmana tersebut melihat ke arahnya dan membalasnya, “Bawa pergi makanan Anda
karena saya sedang berpuasa.”
Pengawalnya yang datang di belakangnya tidak dapat melihat dewi
tersebut, hanya mendengar suara tuannya, dan ia berpikir, “Brahmana ini
mengoceh sendirian, kurasa karena kondisi tubuhnya melemah dan telah berpuasa
selama tujuh hari, ia merasakan sakit dan menjadi takut akan kematian. Saya
akan menghibur dirinya.” Dan ia mengucapkan bait pertama berikut ini:
“O brahmana yang terpelajar, yang penuh dengan kesucian, Siswa dari begitu banyak guru agung, mengapa tanpa alasan apapun Anda berbicara dengan sia-sia, Di saat tidak ada siapapun di sini, katakan kepadaku ada apa?”
Brahmana itu mendengarnya dan mengetahui bahwa pengawalnya tidak dapat
melihat dewi tersebut, ia berkata, “Temanku yang baik, ini bukanlah karena
takut akan kematian. Saya mempunyai lawan bicara di sini,” dan ia mengucapkan
bait kedua berikut ini:
“Di sini di hadapan kita ada seorang dewi cantik yang bersinar dan berkilauan dengan warna emas, Yang menawarkan makanan sebagai tenaga bagi diriku, Semuanya diletakkan di atas piring emas: Saya mengatakan Tidak kepadanya, dengan perasaan hati yang puas.”
Kemudian pengawal tersebut mengucapkan bait ketiga berikut ini:
“Jika seseorang melihat makhluk yang demikian luar biasa, Ia harus meminta berkah dengan penuh harapan. Sadarlah, mohon kepadanya, dengan sikap tangan dirangkupkan: Katakan ‘Apakah Anda adalah seorang manusia atau dewa?’ ”
“Benar yang Anda katakan itu,” kata brahmana, dan bertanya dengan
mengucapkan bait keempat berikut:
“Sebagaimana Anda memperlakukanku demikian baiknya Dan berkata ‘Ambil dan Makan makanan ini’ kepadaku, Saya ingin bertanya kepada Anda, wanita dengan kebesaran, Apakah Anda adalah seorang dewi atau manusia?”
Dewi tersebut mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:
“Saya adalah seorang dewi yang memiliki kebesaran, Dan bertugas menjaga di tengah lautan ini, Dengan memiliki rasa welas asih dan puas hati, Demi kebaikan Anda, saya memberikan pelayanan ini. “Di sini ada makanan, minuman, dan tempat untuk beristirahat, Banyak peralatan dan bermacam jenisnya; Saya membuat Anda, Saṁkha, menjadi Tuan dari segalanya.
Setelah mendengar ini, Sang Mahasatwa berpikir kembali. “Ini adalah
dewi (dalam pikirannya), di tengah lautan, yang sedang menawarkanku ini dan
itu. Mengapa ia ingin memberikanku hal tersebut? Apakah dikarenakan perbuatan
bajikku, atau hanya karena kekuatannya sendiri ia melakukan ini semua? Baiklah,
saya akan menanyakan ini kepadanya.
Dan ia menanyakannya dalam bait ketujuh
berikut: “Dari semua pengorbanan dan pemberianku Anda adalah ratu, dan yang
memerintah; Anda memiliki pinggang ramping dan alis yang indah: Perbuatan apa dariku yang telah membuahkan
hasil ini?”
Dewi itu mendengarnya dan berpikir, “Brahmana ini menanyakan pertanyaan
tersebut, saya rasa, karena ia berpikir saya tidak tahu kebajikan apa yang
telah diperbuatnya. Saya akan emberitahukannya.” Maka ia memberitahunya dengan
mengucapkan bait kedelapan berikut ini:
“Seorang pengembara, yang berjalan di atas pasir tanah yang sangat panas, Merasa lelah dan dengan kaki yang sakit, haus, Anda singgah kepadanya, O brahmana Saṁkha, memberikan sepatunya sebagai pemberian dana: Pemberian dana itulah yang membuahkan hasil demikian hari ini.”
Ketika Sang Mahasatwa mendengar ini, ia berpikir dalam dirinya sendiri,
“Apa! dalam lautan luas ini pemberian dana berupa sepatu oleh diriku telah
membuahkan hasil yang demikian bagiku! Ah, betapa beruntungnya memberikan
sesuatu kepada Pacceka Buddha itu!” Kemudian dalam perasaan puas yang amat
sangat, ia mengucapkan bait kesembilan berikut ini:
“Berikanlah sebuah kapal kayu yang kokoh, Yang mempunyai kecepatan seperti angin, tahan terkena air laut; Karena di sini tidak ada angkutan lain; Dan hari ini juga bawa diriku ke Molinī 12.”
Dewi itu merasa sangat senang mendengar kata-kata ini, ia memunculkan
sebuah kapal yang terbuat dari tujuh benda berharga, panjangnya delapan usabha,
lebarnya empat usabha, dalamnya dua puluh yact. Kapal itu memiliki tiga tiang yang terbuat
dari batu safir, tali emas, layar perak, dayung dan kemudi emas. Dewi itu
mengisi kapal besar itu dengan tujuh benda berharga. Kemudian dengan merangkul
brahmana itu, ia membawanya ke atas kapal yang sangat bagus tersebut.
Mulanya dewi itu tidak melihat pengawalnya, tetapi brahmana itu
memberikan bagian dari hartanya sendiri kepadanya; ia menjadi girang, sehingga
dewi itu juga merangkul dan membawanya naik ke kapal tersebut. Kemudian dewi
itu membawa kapal ke kota Molinī, dan setelah menyimpan harta itu di dalam
rumah brahmana, ia kembali ke tempat tinggalnya sendiri. Sang Guru dalam
kebijaksanaan sempurna-Nya mengucapkan bait terakhir berikut ini:
“Dewi menjadi senang, gembira, dengan suara ceria, Memunculkan sebuah kapal besar yang luar biasa; Kemudian, membawa Saṁkha dengan pengawalnya, Mendekat ke kota yang paling cantik itu.”
Dan brahmana itu sepanjang hidupnya tinggal di dalam rumah, memberikan
dana tiada habisnya dan menjalankan sila. Di akhir kehidupannya, ia dan
pengawalnya tumimbal lahir menjadi penghuni alam Surga.
-----
Ketika Sang Guru telah menyampaikan uraiannya, Beliau memaparkan
kebenarannya:—Di akhir kebenarannya, upasaka itu mencapai tingkat kesucian
sotāpanna (sotapanna):—dan demikian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini:
“Pada masa itu, Uppalavaṇṇā adalah dewi, Ananda adalah pengawal dan saya
sendiri adalah brahmana Saṁkha.”
Posting Komentar