PUTA BHATTA – JATAKA

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana tentang seorang tuan tanah. 
Diceritakan bahwasannya pada suatu waktu, seorang tuan tanah warga Kota Savatthi melakukan bisnis dengan seorang tuan tanah dari desa. Membawa istrinya bersama, dia mengunjungi orang ini, penghutang! Tetapi penghutang menyatakan bahwa dia tidak dapat membayar. 

Dalam kemarahan, tuan tanah beserta istrinya berangkat pulang tanpa sempat menyantap sarapan pagi. Dalam perjalanan, beberapa orang bertemu dengannya dan melihat betapa kelaparannya mereka dan berhenti untuk memberinya makanan dan memintanya untuk berbagi dengan istrinya.


Ketika dia mendapatkan makanan, dia tidak rela memberikan sebagian kepada istrinya. Maka kepada istrinya dia berkata, “Istriku, tempat ini terkenal sering dikunjungi oleh pencuri, jadi anda sebaikbya pergi ke depan.” 
Setelah berhasil menyingkirkan istrinya, dia memakan semua makanan tersebut dan kemudian menunjukkan panci kosong kepadanya sambil berkata, “LIhat ini, istriku, mereka memberi ku sebuah panci kosong!” 

Istrinya menduga bahwa suaminya telah memakan semua bagian makanan itu dan menjadi jengkel. Ketika mereka berdua melewati vihara di Jetavana, mereka berpikir untuk masuk dan minum air ke dalamnya. 
Disana Sang Guru duduk, dengan sengaja untuk menjumpai mereka, seperti seorang pemburu yang sedang mengintai, duduk di dalam kamar Nya yang wangi. 
Beliau menyambut mereka dengan ramah dan berkata,” Upasika, apakah suami anda baik dan menyayangimu ?”
“Saya mencintainya, bhante.” Jawab istrinya,” tetapi dia tidak pernah mencintaiku, dia selalu membiarkan aku sendirian bahkan hari ini pada saat dia diberikan sepanci penuh makanan, dia habiskan sendiri tanpa membagikannya kepadaku.”
“Upasika, begitulah yang selalu terjadi, Anda menyayangi dengan baik tetapi tidak sebaliknya, tetapi ketika dengan bantuan orang bijak, dia akan mengetahui semua kebaikan mu dan akan memberikan semua kehormatan kepadamu.” Kemudian atas permintaanya,  beliau menceritakan sebuah kisah lampau.

Dahulu kala, ketika Brahmadatta adalah Raja Benares,  Bodhisatta adalah putra dari salah seorang pejabat istana. Ketika dewasa, dia menjadi penasehat raja dalam segala urusan pemerintahan dan spiritual. 
Raja takut akan putranya, kalau dia bakal melukainya dan mengirimnya pergi. Membawa istrinya, putranya itu pergi dari kota dan datang ke Desa Kasi, tempat dia menginap. 

Setelah beberapa waktu, ayahnya meninggal dan putranya mendengar hal itu dan segera kembali ke Benares dan berpikir,” Saya mungkin akan mewarisi kerajaannya yang merupakan hak kelahiran ku.”
Dalam perjalanannya pulang, seseorang memberi nasi kepadanya dan berkata, “Makan dan berikan kepada istrimu juga.” Tetapi dia tidak memberikan sedikitpun dan menghabisinya sendiri dan istrinya berpikir.” Ini adalah seorang laki-laki yang sangat kejam” dan dia dipenuhi dengan kesedihan.

Ketika suaminya tiba di Benares dan mewarisi kerajaannya, dia menjadikan istrinya sebagai permaisuri raja, tetapi berpikir,” Sedikit saja cukup untuknya.” Dia tidak pernah memberikan penghargaan dan kehormatan lainnya, bahkan dia tidak pernah menanyakan keadaan istrinya.

“Permaisuri ini,” pikir Bodhisatta “ melayani raja dengan baik dan mencintainya sedangkan raja tidak memikirkannya sedikitpun. Saya akan membuat raja memberikan kehormatan dan penghargaan kepadanya,” maka dia pun datang ke permaisuri dan memberi salam, berdiri di satu sisi,” Ada apa Guru?” tanya sang permaisuri.

“Permaisuri, bagaimana kami dapat melayani anda ? Bukankah seharusnya anda memberikan kepada orang-orang tua ini sepotong baju atau semangkuk nasi ?” tanya Sang Guru.

“Guru, saya tidak pernah menerima apapun untuk diriku sendiri, jadi apa yang dapat kuberikan kepada mu ? JIka saya menerima, apakah saya pernah tidak memberi? Tetapi sekarang, raja tidak memberikan apa pun kepada saya, apalagi memberikan sesuatu kepada yang lain. Ketika dia dalam perjalanan, dia menerima semangkuk nasi dan bahkan tidak memberiku sedikitpun – dia menghabiskannya sendiri.” Kata permaisuri.

“Baik, Permaisuri, sanggupkah anda mengatakan ini depan raja?”
“Tentu saja.”
“Baiklah kalau begitu, hari ini, ketika saya berdiri di hadapan raja, di saat saya menanyakan pertanyaan ku, berikanlah jawaban yang sama. Dan hari ini juga saya akan membuat kebaikanmu disadari oleh raja.: Maka Bodhisatta pergi dan berdiri di hadapan raja. Dan permaisuri juga pergi dan berdiri di dekat raja.

“Permaisuri, anda sangat kejam. Bukankah seharusnya anda memberikan orang-orang tua ini sepotong pakaian dan sepiring makanan ?” Sang Bodhisatta berkata.

“Guru, saya sendiri tidak menerima apa pun dari raja, apa yang dapat saya berikan kepada anda ?”
“Bukankah anda seorang permaisuri raja ?” Sang Guru bertanya
“Guru, apa artinya menjadi seorang permaisuri raja kalau tidak ada kehormatan diberikan ? Apa yang akan diberikan raja kepada saya sekarang ? Ketika dia mendapatkan sepiring nasi dalam perjalanan kita kembali ke istana saja, dia tidak memberikan sedikitpun kepadaku dan menghabiskannya sendiri.”  

Dan Bodhisatta bertanya kepada raja,” benarkah begitu Paduka ?”
Dan raja pun mengiyakannya. Ketika Bodhisatta melihat raja mengangguk, dia langsung berkata,” Kalau begitu, Permaisuri, mengapa harus tinggal disini bersama raja setelah dia berkelakuan tidak baik begitu ? di dunia ini, kesatuan tanpa kasih sayang adalah hal yang sangat menyakitkan, ketika anda tinggal disini, kesatuan tanpa kasih saying dengan raja akan membawa kesengsaraan bagimu. Rakyat menghormati orang yang menghormati orang lain dan ketika tidak ada yang menghormati – Segera setelah anda melihatnya, anda seharusnya pergi ke tempat lain. Banyak orang yang hidup di dunia ini.” Dan kemudian beliau mengucapkan bait-bait berikut :
Kehormatan untuk kehormatan; kasih saying untuk kasih saying adalah hal yang wajar.Lakukan kebajikan untuk orang yang melakukan hal yang sama terhadapmu.Ketaatan menghasilkan ketaatan; tetapi ini jelas tak seorang pun ingin membantu orang yang tidak akan membantu lagi.
Membalas pengabaian untuk pengabaian; jangan tinggal untuk menyenangkan orang yang kasihnya telah tiada.
Dunia ini luas; dan ketika burung-burung melihat dari jauh, pohon-pohon yang telah kehilangan buah – mereka terbang pergi
Mendengar ini raja menjadi sadar dan memberikan semua penghormatan kepada permaisurinya dan sejak saat itu, mereka hidup bersama dalam persahabatan dan keharmonisan.

Ketika Sang Guru selesai mengakhiri uraian ini, beliau memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka – Pada masa itu, suami istri itu adalah sama dengan raja dan permaisuri sedangkan Aku adalah penasihat bijak itu juga.


Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Copyright © 2011. Cerita Jataka - Kisah Sang Buddha Gautama pada masa kelahiran lampau - All Rights Reserved
Template Proudly powered by Blogger