SUSIMA-JATAKA


Kisah ini diceritakan Sang Guru di Jetavana tentang pemberian derma tanpa aturan.
Dikatakan, bahwasannya di Savatthi sebuah keluarga biasanya sesekali memberikan derma kepada Buddha dan rombongan Bhikkhunya, sesekali merekam memberikan juga kepada kaum tithiya; pemberi derma tersebut kadang membentuk kelompok atau orang yang tinggal di satu jalan akan membentuk kelompok sendiri atau seluruh warga mengumpulkan derma secara sukarela dan mempersembahkannya kepada mereka.

Dalam kisah ini, seluruh warga telah mengumpulkan benda-benda yang diperlukan tetapi mereka terpecah, sebagian meminta ini diberikan kepada kaum titthiya, sebagian meminta ini diberikan kepada pengikut Sang Buddha. Masing-masing pihak bertahan pada pendapat masing-masing. Pengikut titihiya memberikan suara kepada kaumnya dan begitu juga dengan pengikut Sang Buddha.  Kemudian diusulkan dilakukan pembagian berdasarkan permintaan, dan demikianlah, pengikut Sang Buddha adalah kaum Mayoritas.

Maka rencana mereka pun dijalankan dan pengikut kaum titthiya tidak bisa mencegah derma itu diberikan kepada Sang Buddha dan pengikutnya. Orang-orang memberikan undangan kepada kelompok Sang Buddha dan selama tujuh hari mereka memberikan banyak sekali derma kepada mereka dan pada hari ketujuh, mereka memberikan semua benda yang telah mereka kumpulkan. 

Sang Buddha mengucapkan terima kasih dan setelah itu Beliau mengukuhkan sejumlah besar orang-orang tersebut di dalam “jalan” dan “buah”. Kemudian beliau kembali ke Jetavana, dan setelah para siswa Nya menyelesaikan tugas mereka. Beliau memberikan khutbah Dhamma dengan berdiri di depan gandhakuti, tempat Beliau beristirahat.

Pada malam harinya, para bhikkhu berbicara di dalam balai kebenaran, “Avuso, betapa kaum titthiya mencoba untuk mencegah derma yang akan diberikan kepada orang-orang suci. 

Bagaimanapun, mereka tidak berhasil melakukannya, semua benda-benda yang dikumpulkan akhirnya jatuh kepada orang suci. Ah betapa besarnya kekuatan Sang Guru!”

“Apa yang sedang kalian bicarakan ?” tanya Sang Buddha sembari berjalan masuk. Mereka pun menceritakannya. “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya kaum tittthiya mencoba menghalangi derma yang seharusnya di berikan kepada Ku. Mereka juga telah melakukan hal yang sama sebelumnya tepai seperti sekarang, benda-benda itu akhirnya kembali kepada Ku,” setelah mengatakan itu, beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala di Benares, hiduplah seorang raja yang bernama Susima dan Bodhisatta adalah putra dari istri pendeta kerajaannya. Ketika dia berumur enam belas tahun, ayahnya meninggal. Ketika ayahnya masih hidup, dia adalah seorang pemimpin upacara festival gajah raja. Dia sendiri bertanggung jawab untuk hiasan dan pertunjukan gajah-gajah yang datang ke festival. Dikarenakan itu, dia mendapat uang sebanyak sepuluh juta untuk setiap festival.

Kala itu adalah musim festival gajah, dan kaum brahmana datang menghadap raja dengan kaa-kata sebagai berikut. “Oh Paduka, musim festival gajah telah tiba dan harus diadakan. Tetapi putra pendeta kerajaan ini masih terlalu muda. Dia tidak tahu tentang tiga Weda dan tidak mempunyai pengalaman dan pengetahuan sama sekali tentang gajah, bolehkan kami yang adakan festival tahun ini ?” 
Rajapun menyetujuinya.

Para brahmana pergi dengan senang hati, “Ahaa, kita telah menghalangi anak ini untuk mengadakan festival, kita akan mengadakannya sendiri dan mendapatkan keuntungannya.”  
Tetapi ibu Bodhisatta mendengar dalam empat hari akan ada festival gajah. “ Selama tujuh generasi, “pikirnya “Kami telah mengurus festival gajah ini dari ayah ke anak, kebiasaan lama ini akan hilang dari kami dan kekayaan kita juga akan habis.” Dia mencucurkan airmata dan tangis. “Mengapa engkau menangis ibuku ?” tanya anaknya. Dia menjelaskan apa yang terjadi pada anaknya.

“Baiklah bu, saya yang akan mengadakan festival itu.” Kata anaknya.
“Tapi, Apa, Anakkku ? kamu tidak tahu tentang tiga Weda ataupun pengetahuan tentang gajah; bagaimana kamu dapat melakukannya ?”
“Kapan mereka akan mengadakan festival ini ?” tanya anaknya
“Empat hari dari hari ini, anakku.” Jawab ibunya
“Dimanakah saya bisa mendapatkan guru yang tahu tentang tiga Weda di luar kepala dan semua pengetahuan tentang gajah?” tanya anaknya lagi.
“Guru yang paling terkenal tinggal di Takkasila, di kerajaan Gandhara, dua ribu yojana dari sini.”
“Ibu, hak turun temurun kita tidak boleh hilang, dalam satu hari, cukup buat saya menempuh perjalanan  ke Takkasila, satu malam untuk mempelajari Tiga Weda dan poengetahuan tentang gajah dan keesokan harinya saya akan menempuh perjalanan pulang. Dan pada hari keempat saya yang akan mengadakan festival itu, Janganlah menagis lagi.” Hibur anaknya.

Pada keesokan harinya, dia menyantap sarapan paginya dan berangkat sendiri ke Takkasila yang dicapainya dalam satu hari. Kemudian setelah berjumpa dengan gurum dia mengucapkan salam dan duduk di satu sisi.

“Anda berasal dari mana ?” tanya sang guru.
“Dari benares, Guru.”
“Untuk tujuan apa ?”
“Untuk belajar dari Guru tentang tiga Weda dan pengetahuan tentang gajah”
“Tentu saja, anakku, anda seharusnya mempelajarinya.”
“Tetapi Guru,” kata si Bodhisatta. “kasus saya ini mendesak.” Kemudian dia menceritakan semua masalahnya dan menambahkan. “Dalam satu hari, saya telah menempuh perjalanan dua ribu yojana. Berikan waktu anda satu malam saja. Tiga hari dari sekarang akan ada festival gajah; Saya akan belajar semuanya dalam satu hari.”

Guru itu pun menyetujuinya dan kemudian anak ini mambasuh kaki gurunya dan meletakkan disampingnya biaya sebesar seribu keping uang. Dia duduk di satu sisi dan belajar dengan tekun. Waktu pun berlalu, bahkan sebelum hari berlalu, dia telah mempelajari tiga Weda dan pengetahuan tentang gajah. “Masih adakah guru?” tanyanya.
“Tidak Anakku, anda telah menerima semuanya.”
“Guru, didalam buku ini ada bait yang muncul terlalu telat, sedangkan yang lainnya muncul di tempat yang salah dalam bacaan itu, Inilah cara untuk mengajar murid anda di kemudian hari.” Dan kemudian diapun memperbaiki pengetahuan gurunya.

Setelah sarapan pagi, diapun pergi dan tiba di Benares dalam satu hari dan memberikan salam kepada ibunya,”Apakah kamu telah belajar apa yang harus anda pelajari, anakku ?” tanyanya. “Iya ibu.”
Dan ibunya pun sangat senang mendengarnya.

Keesokan harinya, festival gajah telah dipersiapkan. Seratus ekor gajah telah dihiasi dengan hiasan emas, bendera emas dan ditutupi dengan jarring-jaring emas murni. Dan seluruh lapangan istana juga telah dihiasi. Disana berdiri para brahmana dengan pakaian pesta mereka yang bagus dan berpikir dalam hati, “Sekarang kita yang akan mengadakan upacara, kita akan melakukannya.”Kemudian Sang Raja juga tiba dengan segala kebesarannya.

Bodhisatta berpakaian laksana seorang pangeran sebagai pemimpin rombongannya menghampiri Raja dengan kata-kata sebagai berikut. “ benarkah Paduka, anda akan merampas hakku ? Apakah Yang Mulia yang memberikan kepada pra brahmana lain untuk memimpin upacara ini ? Apakah Paduka telah mengatakan bahwa Paduka bermaksud akan memberikan semua perhiasan dan peralatan yang digunakan kepada mereka ?” dan dia mengulangi bait pertama sebagai berikut :
Seratus ekor gajah hitam, dengan gading yang serba putih semua;
Adalah hak anda dengan memakai perhiasan emas.Kepada Anda, dan andlah saya berikan mereka – apakah Anda berkata begitu ? mengingat hak leluhurku?

Raja Susima kemudian membalas dengan mengulangi bait kedua
Seratus ekor gajah hitam, dengan gading yang serba putih semua; adalah hak saya dengan memakai perhiasan emas.Kepada anda, dan andalah saya berikan mereka – demikian saya berkata, anak muda, mengingat hak leluhurmu.

Kemudian, terlintas di pikiran Boddhisatta dan dia berkata, “Paduka, jika anda mengingat hak leluhurku dan adat istiadat leluhurmu. Mengapa anda mengabaikanku dan menjadikan orang lain sebagai pemimpin dari festival anda ?”

“Mengapa ? Karena saya diberitahukan bahwa Anda tidak tahu tentang Tiga Weda dan pengetahuan tentang gajah dan inilah sebabnya saya menunjuk orang lain untuk memimpinnya.”

“Baiklah Paduka, jika ada diantara para brahmana ini yang bisa mengucapkan hanya sebagian dari Weda dan pengetahuan tentang gajah kepadaku! Biarlah dia berdiri di depan saya. Tidak ada seorang pun di seluruh India ini, selain saya yang tahu tentang tiga Weda dan pengetahuan tentang gajah untuk memimpin festival gajah!”

Perkataanya dikeluarkan seperti auman singa. Tidak seorangpun brahmana yang berani maju untuk membantahnya. Dengan demikian,  Bodhisatta melanjutkan hak turun temurunnya dan memimpin festival tersebut dan pulang ke rumahnya dengan penuh kekayaan.

Ketika Sang Guru selesai menyampaikan uraian ini, beliau memaklum kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka – Pada masa itu, Mahamaya adalah sang ibu, Raja Sudhodana adalah sang ayah, Ananda adalah Raja Susima, Sariputta adalah guru yang terkenal itu dan Akulah si brahmana muda.



Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Copyright © 2011. Cerita Jataka - Kisah Sang Buddha Gautama pada masa kelahiran lampau - All Rights Reserved
Template Proudly powered by Blogger