SATADHAMMA - JATAKA

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana tentang 21 cara hidup yang tidak benar. Pada suatu masa, terdapat banyak bhikkhu yang menyokong kehidupan mereka dengan menjadi tabib, utusan, pengirim pesan, melakukan pertukaran derma dan sebagainya. 

Ketika Sang Guru mengetahui bahwa mereka hidup dengan cara demikian, Beliau berkata,” Sekarang terdapat banyak bhikkhu yang hidup dengan cara yang tidak benar. Orang-orang yang hidup dengan cara demikian tidak akan terlepas dari kelahiran sebagai yaksa atau makhluk peta; mereka akan terlahir sebagai ternak yang memikul kuk *kayu lengkung yang dipasang di tengkuk lembu; mereka akan terlahir di alam neraka; untuk keberuntungan dan berkah mereka seharusnya mereka memberikan khotbah Dhamma yang mengandung moral yang jelas dan sederhana. 

Maka beliau mengumpulkan para bhikkhu Sangha dan berkata, “Para Bhikkhu, kalian tidak seharusnya mendapatkan kebutuhkan kalian dengan dua puluh satu cara yang tidak benar, makanan yang didapatkan dengan cara yang tidak benar adalah seperti sepotong besi yang membara, seperti racun yang mematikan. Cara-cara yang tidak benar ini dikecam dan dicela oleh semua siswa dari para Buddha dan Pacceka Buddha. Bagi yang menyantap makanan yang diperoleh dengan tidak benar, tidak akan mendapatkan tawa dan kegembiraan, makanan yang didapatkan dengan cara-cara demikian, dalam ajaran-Ku, adalah sama seperti sisa makanan dari salah satu kasta yang paling rendah. 

Dan dengan kata-kata ini, beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka semuanya.

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari seorang kaum candela. Ketika dewasa, dia melakukan perjalanan atas tujuan tertentu, dengan membawa sejumlah nasi dan makanan di dalam sebuah keranjang daun sebagai persediaan makanannya.

Kala itu terdapat seorang pemuda di Benares, yang bernama Satadhamma, dia adalah seorang putra dari seseorang yang mulia (kastanya) seorang brahmana utara. Dia juga melakukan perjalanan atas tujuan tertentu, tetapi tidak ada nasi ataupun makanan yang dibawanya dengan keranjang. Keduanya bertemu di jalan besar. Brahmana muda itu bertanya, “Anda berasal dari kasta apa ?” sang pemuda menjawab,” Candala, dan anda sendiri ?” “Oh, saya adalah seorang brahmana utara”.

“Baiklah, mari kita melakukan perjalanan bersama,” dan demikianlah mereka pergi bersama, waktu sarapan tiba; Bodhisatta duduk di tempat yang ada air jernih, mencuci tangannya dan membuka keranjangnya,” Apakah anda ingin makan ?” dia bertanya. “Tidak, saya tidak mau, anda adalah seorang Candala”. “ Oh, baiklah”. Kata Bodhisatta.

Dengan hati-hati agar tidak menghamburkan sedikit pun, dia meletakkan makanan sebanyak yang diinginkannya pada sehelai daun yang terpisah dari yang lainnya. Mengikat kembali keranjangnya dan mulai makan, kemudian dia minum sedikit air, mencuci tangan dan kakinya, mengangkat sisa nasi dan makanan, “Mari, Brahmana Muda.” Katanya. Dan mereka melanjutkan perjalanan mereka kembali.

Seharian mereka berjalan bersama, dan disaat petang hari, mereka berdua mandi di tempat air yang jernih, setelah mereka keluar, Bodhisatta duduk di sebuah tempat yang menyenangkan, membuka bungkusannya dan mulai makan. Kali ini dia tidak menawarkannya kepada Brahmana, Brahmana muda itu mulai letih karena berjalan seharian dan sangat lapar sekali. Dia kemudian berdiri dan berpikir,” jika dia menawarkan saya makanan itu, saya akan menerimannya.” 

Tetapi Bodhisatta terus makan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Candala ini, menyantap setiap bagian makanannya tanpa sepatah kata pun, baiklah, saya akan meminta sedikit kepadanya. Saya dapat membuang bagian luar nya yang kotor dan memakan sisanya.” Dan demikianlah yang dia lakukan. 

Segera setelah selesai makan dia berpikr, “betapa saya telah memalukan statusku, kastaku, keluargaku! Saya telah memakan sisa-sisa dari seorang Candala !” benar-benar sangat kuat penyesalannya. Dia memuntahkan makanannya dan darah keluar besertanya, “Oh betapa buruk perbuatan yang telah saya lakukan, demi sesuatu yang kurang berati!” dan dia melanjutkan dalam kata-kata dari bait pertama
Sesuatu yang kurang berati! Sisa-sisa makanannya! Juga diberikan di luar kemauannyaSaya adalah seorang kaum brahmana dan makanan itu telah membuat saya sakit

Demikianlah, brahmana muda itu membuat ratapannya dengan menambahkan,” Mengapa kulakukan sesuatu yang buruk hanya demi kehidupan ku ?”  kemudian dia mengasingkan diri di dalam hutan dan tidak pernah membiarkan mata manapun yang melihatnya dan akhirnya meninggal dalam kesendirian.

Setelah kisah ini berakhir, Sang Guru mengulangi, “Bagaikan brahmana muda itu, Para Bhikkhu, setelah menyantap sisa-sisa makanan seorang candala, tidak lagi mendapatkan tawa dan kegembiraan karena dia telah menyantap makanan yang tidak semestinya itul demikianlah siapapun yang menganut kepercayaan ini, dan hidup dengan cara yang tidak benar, ketika dia menyantap makanan dan menyokong kehidupannya dengan cara apapun yang dicela oleh Buddha, tidak akan mendapatkan tawa dan kegembiraan. Kemudian dalam Kebijaksanaan-Nya yang sempurna, beliau mengulangi bait kedua berikut :

Dia yang hidup dengan cara yang tidak benar ; dia yang tidak peduli juka melakukan keburukan; seperti brahmana di dalam kisah itu, tidak akan mendapatkan kebenaran.
Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran-Nya Pada masa itu, Aku lah Candala itu

Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Copyright © 2011. Cerita Jataka - Kisah Sang Buddha Gautama pada masa kelahiran lampau - All Rights Reserved
Template Proudly powered by Blogger