Dahulu kala, ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta dikandung sebagai putra dari permaisurinya. Permaisuri melahirkan dengan selamat dan pada hari pemberian nama, mereka menamainya Asadisa (Pangeran Tiada Tara) .
Pada saat dia mulai bisa berjalan, permaisuri mengandung lagi yang juga bakal menjadi orang bijaksana. Dia melahirkan dengan selamat dan pada hari pemberian nama, mereka menamainya Brahmadatta (Pangeran Karunia Brahma).
Pada saat dia mulai bisa berjalan, permaisuri mengandung lagi yang juga bakal menjadi orang bijaksana. Dia melahirkan dengan selamat dan pada hari pemberian nama, mereka menamainya Brahmadatta (Pangeran Karunia Brahma).
Ketika Asadisa berumur enam belas tahun, dia pergi ke Takkasila untuk bersekolah. Disana, dibawah bimbingan seorang guru yang termasyur, dia mempelajari tiga kitab Weda dan delapan belas keahlian, dalam seni memanah dia tidak ada tandingannya; kemudian dia kembali ke Benares.
Pada saat akan meninggal dunia, Raha menurunkan titah bahwa Asadisa harus menjadi raja sebagai penggantinya dan Brahmadatta sebagai Wakil Raja, kemudian raja pun wafat. Setelah itu, tahta kerajaan diwariskan kepada Asadisa tetapi ditolaknya dengan alasan dia tidak menginginkan menjadi raja, maka mereka kemudian menabhiskan Brahmadatta sebagi raja dengan upacara pemercikan. Asadisa memedulikan kekayaaan dan tidak menginginkan apa-apa.
Saat adiknya memerintah, Asadisa tinggal di dalam segala kebesaran kerajaan. Para pelayan datang dan memfitnah dirinyadi hadapan adiknya, “Asadisa sebenarnya ingin menjadi raja!” kata mereka. Brahmaditta membiarkan dirinya percaya dan ditipu oleh mereka dan mengirimkan beberapa orang untuk menawan Asadisa.
Salah satu pelayan Asadisa menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Dia menjadi marah kepada adiknya dan pergi ke kerajaan lain. Setelah tiba disana, dia mengabarkan pesan kepada raja bahwa seorang pemanah telah datang dan menunggunya, “berapa banyak bayaran yang dimintanya?” tanya sang raja. “Seratus ribu per tahun”. “ Baik.” Kata raja, “Biarkan dia masuk”.
Asadisa pun menghadap raja dan berdiri menunggu, “’Apakah anda pemanah itu ?” tanya Raja
“Ya Paduka.” Jawabnya
“Bagus sekali, saya menerimamu untuk bekerja untukku.” Setelah itu, Asadisa bekerja melayani Raja tetapi para pemanah lama menjadi jengkel dengan bayaran yang diberikan kepadanya, “Terlalu banyak.” Keluh mereka
Suatu hari, Raja keluar ke tamannya, disana, dibawah pohon mangga, tempat sehelai kain telah diletakkan di papan batu, dia duduk di atas sebuah dipan yang sangat bagus dan kebetulan melihat ke atas, dan disana tepat diatas puncak pohon dia melihat kerumunan buah mangga, “Itu terlalu tinggi untuk dapat dipanjat,” pikirnya. Maka setelah memanggil pemanahnya, dia menanyakan kepada mereka apakah mereka mampu memotong kerumunan mangga tersebut dan menurunkan untuknya.
“Oh!” kata mereka, “tidak terlalu sulit untuk kami lakukan itu, akan tetapi Paduka sudah sering melihat keahlian kami, bagaimana dengan pendatang baru itu ? mungkin anda bisa memintanya untuk menurunkan kerumunan buah tersebut.”
Maka Raja kemudian memanggil Asadisa dan bertanya apakah dia sanggup untuk melakukannya. “Oh tentu saja Paduka, jika saya boleh memilih posisi saya,” kata Asadisa
“Posisi mana yang anda inginkan ?” tanya Raja
“Tempat dimana Anda sekarang duduk.” Raja lalu meminta tempat duduk itu digeser dan memberikan tempat itu kepadanya.
Asadisa tidak membawa busur di tangannya, dia biasanya membawanya di dalam pakaiannya,maka dia memerlukan sehelai kain. Raja memerintahkan untuk membawa dan membentangkan kain tersebut untuknya dan pemanah tersebut masuk ke dalamnya. Dia menanggalkan pakaian putih yang dipakainya dan mengenakan sehelai pakaian merah di kulitnya; kemudian dia mengencangkan sabuknya dan mengenakan sebuah kain pinggang merah.
Dari sebuah tas, dia mengeluarkan sebuah pedang yang terpisah berkeping-keping yang kemudian disatukannya dan diliklit pada bagian kirinya. Berikutnya dia mengenakan baju perisai emas, mengikat sarung anak panah di punggungnya dan mengeluarkan busurnya yang bagus yang terdiri dari bagian-bagian yang disatukannya bersama, memasang tali busur, merah seperti batu karang, mengikat alas kain di kepalanya, memutar-mutar anak panah dengan kukunya.
Dia membuka kain itu dan keluar, terlihat seperti seorang pangeran ular yang muncul dari tanah yang terbelah. Dia pergi ke tempat memanah itu dan anak panah dipasang di busur dan kemudian bertanya kepada Raja, “Paduka,” katanya. “ apakah saya harus menurunkan buah ini dengan satu tembakan ke atas atau dengan emnjatuhkan anak panah diatasnya”
“Anakku,” kata raja,” saya sering melihat sasaran yang diturunkan dengan tembakan keatas, tetapi tidak pernah ada yang diambil dengan dijatuhkan dari bagian atasnya. Anda lebih baik membuat anak panah jatuh diatasnya.”
“Paduka,” jawab Asadisa,” anak panah ini akan terbang tinggi sampai ke Alam Catumaharajika kemudian kembali sendiri. Anda harus bersabar sampai dia kembali.” Raja pun berjanji untuk bersabar kemudian pemanah itu berkata lagi, “Paduka, panah ini pada saat tembakan ke atas akan menusuk tangkai tepat di tengah dan ketika dia turun, dia tidak akan berbelok sehelai rambut pun ke arah lain tetapi akan kena tepat ke titik yang sama dan membawa turun tandan buah bersamanya.”
Kemudian dia menembakkkan panah itu dengan cepat. Ketika panah itu naik, dia menusuk tepat di tengah tangkai mangga tersebut. Saat pemanah tersebut mengetahui panahnya telah mencapai Alam Catumaharajika, dia menembakkan panah yang lain dengan kecepatan yang lebih cepat daripada yang pertama. Yang ini mengenai bulu dari panah pertama, dan memutarnya kembali; kemudian anak panah itu sendiri terbang setinggi Alam Tavatimsa. Di sana para dewa menangkap dan menyimpannya.
Kemudian dia menembakkkan panah itu dengan cepat. Ketika panah itu naik, dia menusuk tepat di tengah tangkai mangga tersebut. Saat pemanah tersebut mengetahui panahnya telah mencapai Alam Catumaharajika, dia menembakkan panah yang lain dengan kecepatan yang lebih cepat daripada yang pertama. Yang ini mengenai bulu dari panah pertama, dan memutarnya kembali; kemudian anak panah itu sendiri terbang setinggi Alam Tavatimsa. Di sana para dewa menangkap dan menyimpannya.
Suara dari panah yang mengarah turun itu membelah langit seperti suara halilintar, “Suara apakah itu?” tanya setiap orang. “itu adalah suara panah yang sedang mengarah turun,” jawab pemanah tersebut. Para penonton semuanya ketakutan setengah mati, takut kalau panah jatuh mengenai mereka, tetapi Asadisa menenangkan mereka, “Tidak usah takut,” katanya. “Saya pastikan anak panah itu tidak akan jatuh di tanah.” Kemudian turunlah anak panah itu, tidak berbelok sehelai rambut pun, tetapi dengan mulus menembusi tangkai tandan buah mangga tersebut. Pemanah tersebut menangkap anak panah itu dengan satu tangannya dan buah di tangan yang satunya lagi, jadi keduanya tidak jatuh ke tanah. “Saya tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya!” teriak para penonton terhadap kejadian yang luar biasa ini.
Betapa mereka berseru, memuji dan bertepuk tangan dan menjetikkan jari mereka, ribuan sapu tangan melambai di udara. Dalam kegembiraan dan kesenangan mereka, orang-orang istana memberikan hadiah kepada Asadisa yang berjumlah uang sepuluh juta. Dan raja juga menghujani dirinya dengan berbagai hadian dan kehormatan terhadapnya.
Disaat Bodhisatta sedang menerima kemuliaan dan kehormatan itu dari tangan raja ini, Tujuh orang raja yang mengetahui bahwasannya Asadisa tidak ada di Benares, mendatangkan pasukan gabungan mereka untuk mengepung kerajaan dan meminta raja untuk bertempur atau menyerah. Rajapun menjadi sangat ketakutan. “dimana kakakku ?” tanyanya. “dia bekerja melayani seorang raja tetangga,” jawaban yang terdengar. “Jika kakakku tidak datang, saya akan menjadi mati. Pergi ! berlututlah kepadanya atas namaku, penuhi segala tuntutannya, bawa dia kembali ke sini!” Utusannya datang dan melaksanakan apa yang dimintanya; Kemudian Asadisa memohon diri kepada rajanya dan kembali ke Benares.
Dia menenangkan adiknya dan memintanya untuk tidak takut serta kemudian menggoreskan sebuah pesan di panahnya dengan tulisan : “Saya Asadisa, telah kembali dan bertekad untuk membunuh kalian semua dengan satu panah yang akan saya tembakkan kepada kalian. Bagi mereka yang masih mau hidup, Silahkan pergi !” panah ini ditembakkannya sedemikian rupa sehingga jatuh di tengah piring emas, tempat ketujuh raja tersebut sedang makan bersama, ketika membaca tulisan itu, seman uanya berlarian, takut setengah mati.
Demikianlah, pangeran tersebut mengusir ketujuh raja itu, tanpa menitikkan darah setetes pun, yang bisa diminum oleh seekor lalat kecil; Kemudian, memandang adiknya dan meninggalkan kesenangan indriawi dan melepaskan keduniawian, mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, yang pada akhir hidupnya dia terlahir di alam Brahmana.
“Dan demikian caranya”, kata Sang Guru, “Asadisa menaklukkan ketujuh raja dan memenangkan pertempuran; setelah itu, dia menjalankan kehidupan suci sebagai seorang pertapa.”
Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka, “Pada masa itu, Ananda adalah sang adik, dan aku sendiri adalah sang kakak”.
Posting Komentar