CULLA-BODHI-JATAKA.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang bhikkhu yang dikuasai oleh nafsu. Setelah menjadi seorang petapa dengan mengikuti ajaran yang menuntun ke arah penyelamatan disertai dengan semua berkahnya, bhikkhu ini tidak mampu mengendalikan nafsunya. Ia menjadi memiliki nafsu keinginan, penuh dengan kebencian, sedikit berbicara, pemarah, terbakar dalam nafsu, berbicara kasar dan keras kepala.

Sang Guru mendengar perlakuannya ini dan memangilnya, kemudian menanyakan kepadanya apakah benar bahwa ia bernafsu, seperti kabar yang terdengar. “Ya, Bhante,” jawab laki-laki tersebut.

Sang Guru berkata, “Bhikkhu, nafsu harus dikendalikan, penyebab perbuatan jahat yang demikian ini tidak memiliki tempat di dunia ini ataupun di kehidupan yang akan datang. Mengapa Anda setelah mendalami ajaran penyelamatan dari Sang Buddha Yang Maha Tinggi, yang tidak memiliki nafsu, masih tidak dapat mengendalikan nafsu? Orang bijak di masa lampau, walaupun mereka menganut  ajaran yang lain dengan Anda, telah dapat mengendalikan nafsu mereka dari Suttapiṭaka Jātaka kemarahan.” Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

******

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja Benares, di kota Kāsi (Kasi) ada seorang brahmana kaya, sehat, dan memiliki banyak harta kekayaan, tetapi ia tidak mempunyai anak, dan istrinya sangat menginginkan kehadiran seorang putra. Pada waktu itu Bodhisatta turun dari alam Brahma terlahir di dalam rahim wanita tersebut. Di saat wanita itu melahirkannya, mereka memberinya nama Bodhi-kumāra, atau laki-laki yang bijak.

Ketika tumbuh dewasa, ia pergi ke Takkasila, tempat dimana ia mempelajari semua ilmu pengetahuan. Setelah selesai belajar, ia kembali ke rumahnya. Dan di luar kemauannya, kedua orang tuanya mencarikannya seorang gadis yang berasal dari kasta yang sama untuk dijadikan sebagai istri. Gadis ini juga turun dari alam Brahma yang terlahir di dunia ini, dan memiliki kecantikan yang luar biasa seperti seorang peri. Kedua manusia ini dinikahkan meskipun mereka tidak menginginkannya. Mereka tidak melakukan perbuatan dosa, tidak melihat satu sama lain dengan pandangan yang penuh nafsu, atau melakukan perbuatan semacamnya di saat mereka tidur. Demikian sucinya diri mereka tersebut.

Tidak lama kemudian orang tua Bodhi-kumāra meninggal dunia, ia pun menguburkan jasad mereka. Setelahnya, Sang Mahasatwa berkata kepada istrinya, “Istriku, sekarang Anda  ambil harta sebanyak delapan ratus juta rupee ini dan hiduplah dalam kebahagiaan.”

“Bukan demikian, tetapi Anda lah yang melakukan demikian, Tuan yang mulia.” Ia berkata, “Saya tidak menginginkan harta kekayaan. Saya akan pergi ke pegunungan Himalaya dan menjadi seorang petapa, dan mencari perlindungan di sana.”

”Baiklah, Tuan yang mulia, apakah hanya laki-laki yang boleh menjalani kehidupan suci?”

“Tidak, wanita juga dapat melakukannya.” “Kalau begitu saya tidak akan mengambil apa yang Anda katakan tadi karena saya lebih tidak menginginkan harta kekayaan dibandingkan dengan Anda dan saya akan menjadi seorang petapa, sama seperti dirimu.”

“Bagus sekali, Wanita,” katanya.

Dan mereka berdua akhirnya memberikan dana yang amat besar. Setelahnya, mereka pergi ke suatu tempat yang menyenangkan di Himalaya dan menjalani petapaan. Di sana mereka bertahan hidup dengan memakan buah-buahan liar, mereka tinggal selama sepuluh tahun. Walaupun demikian mereka tidak mencapai tingkat kesucian apapun.

Dan setelah tinggal di sana dalam kebahagiaan menjalani kehidupan suci selama sepuluh tahun, mereka pergi ke pedesaan untuk memperoleh bumbu garam yang akhirnya membawa mereka sampai ke Benares, dimana mereka tinggal di taman kerajaan.

Pada satu hari raja melihat tukang taman yang datang dengan persembahan di tangannya dan berkata, “Kita akan membuat pesta di taman ini. Oleh karenanya, rapikanlah taman ini.” Setelah taman siap dibersihkan, raja masuk ke dalamnya diikuti dengan rombongan besar. Waktu itu, kedua petapa tersebut sedang duduk di salah satu tempat di dalam sana, menghabiskan waktu mereka dalam kebahagiaan menjalani kehidupan suci. Dan ketika raja melewati taman tersebut, ia melihat mereka berdua yang sedang duduk di sana.

Di saat matanya memandang ke arah wanita yang menyenangkan dan cantik tersebut, raja menjadi jatuh cinta kepadanya. Dipenuhi dengan nafsu, raja bertekad untuk bertanya apa hubungannya dengan petapa laki-laki tersebut. Maka ia mendekati Bodhisatta, ia menanyakan hal itu kepadanya.

“Raja yang agung,” katanya, “ia tidak ada hubungan apa-apa denganku, ia hanya mengikuti diriku menjalani kehidupan suci. Akan tetapi, sebelum menjadi petapa, ia adalah istriku.”

Ketika mendengar ini, raja berpikir dalam dirinya sendiri, “Jadi ia mengatakan bahwa wanita ini sekarang tidak ada hubungan apa-apa dengannya, tetapi sebelumnya saat menjalani kehidupan duniawi, wanita ini adalah istrinya. Baiklah, jika saya mengambilnya dengan kedaulatan kekuasaanku, apa yang dapat dilakukan petapa laki-laki tersebut? Kalau begitu, saya akan membawanya.”

Dan kemudian ia mendekatinya sambil mengucapkan bait pertama berikut ini:
“Jika seseorang mengambil wanita yang bermata besar ini, dan membawanya pergi dari dirimu,
Wanita cantik yang sedang duduk sambil tersenyum di sana, apa yang akan Anda lakukan?”

Untuk menjawab pertanyaan ini, Sang Mahasatwa mengucapkan bait kedua berikut ini:
“Sekali muncul, ia tidak akan meninggalkan diriku, kehidupanku untuk waktu yang lama, tidak,  tidak sama sekali: Seperti hujan badai yang membasahi debu lagi, hancurkanlah ia sewaktu masih kecil.”

Demikianlah Sang Mahasatwa memberikan jawabannya dengan suara yang sekeras auman singa. Tetapi walaupun telah mendengarnya, raja tidak dapat mengendalikan gejolak hatinya dikarenakan kebutaannya, dan ia memerintahkan salah satu pengawalnya untuk membawa petapa wanita itu ke istana. Pengawal itu mematuhi perintah tersebut dan membawanya meskipun ia mengeluh dan meneriakkan bahwa ketiadaan hukum dan kesalahan adalah cara kehidupan duniawi.

Bodhisatta yang mendengar teriakannya tersebut hanya menoleh sekali dan tidak lagi. Dengan keadaan menangis dan meratap demikian, ia dibawa ke dalam istana.

Dan raja Benares tidak berlama-lama lagi di dalam taman, dengan cepat ia juga kembali ke dalam istana. Ia menyuruh pengawal untuk membawa wanita itu dan memberikannya kedudukan yang terhormat. Dan petapa wanita tersebut hanya mengatakan bahwa kehormatan yang demikian itu tidak ada gunanya, dan juga tentang manfaat dari menjalani kehidupan menyendiri seorang petapa.

Raja yang merasa tidak dapat memenangkan hatinya dengan cara apapun, mengurung wanita itu di ruang yang terpisah, dan ia mulai berpikir, “Di dalam sini ada seorang petapa wanita yang tidak peduli dengan segala kedudukan kehormatan ini, dan di luar sana ada seorang petapa laki-laki yang tidak menunjukkan wajah marah meskipun pengawalku membawa paksa petapa wanita yang cantik ini! Sungguh besar tipu daya dari petapa ini; tidak diragukan lagi, ia pasti sedang merencanakan sesuatu untuk melukai diriku.  Baiklah, saya kembali menemuinya dan mencari tahu mengapa ia duduk di sana.”

Karena demikian tidak bisa tenang, raja pergi lagi ke taman. Bodhisatta sedang duduk menjahit jubahnya. Dengan tanpa menimbulkan suara langkah kaki, raja sendirian mendatanginya. Tanpa melihat raja, petapa tersebut tetap melakukan kegiatannya.

Raja berpikir, “Orang ini tidak akan berbicara kepadaku karena ia sedang marah. Petapa ini, berbohong, yang pertama kalinya mengatakan dengan keras, ‘Saya tidak akan membiarkan kemarahan muncul. Walaupun ia muncul, saya akan menghancurkan sewaktu ia masih kecil,’ dan kemudian bersikeras dalam kemarahannya tidak mau berbicara denganku!”

Dengan pemikiran ini, raja mengucapkan bait ketiga berikut:
“Anda yang tadinya sangat keras mengucapkan  omong kosong, Sekarang Anda duduk di sana dan menjahit menjadi tuli disebabkan kemarahan!”

Ketika Sang Mahasatwa mendengar ini, ia mengetahui bahwa raja menduga dirinya diam karena marah, dan ia ingin menunjukkan kepada raja bahwa ia tidak sedang dikuasai oleh kemarahan dengan mengucapkan bait keempat berikut ini:
“Sekali muncul, ia tidak akan pernah meninggalkan diriku, tidak sama sekali: Seperti hujan badai yang membasahi debu, saya menghancurkannya sewaktu ia masih kecil.”

Setelah mendengar perkataan ini, raja berpikir, “Apakah dikarenakan kemarahan yang demikian ia mengatakan itu, atau dikarenakan hal yang lainnya lagi?”

Dan ia menanyakan pertanyaan itu dengan mengucapkan bait kelima berikut ini:
“Apakah itu yang tidak akan pernah meninggalkan dirimu, kehidupanmu untuk waktu yang lama, tidak  sama sekali?  Seperti badai hujan yang membasahi debu, apa yang menghancurkanmu sewaktu ia masih kecil?”

Kata petapa tersebut, “Raja yang agung, kemarahan membawa banyak penderitaan dan kehancuran; baru saja ia akan muncul, tetapi dengan memunculkan perasaan yang baik atau gembira, saya dapat menghancurkannya,” dan kemudian ia mengucapkan bait-bait kalimat berikut ini untuk memaparkan penderitaan dari kemarahan.

Benda yang dilihat seseorang dengan jelas tanpanya, seseorang menjadi seperti buta dengannya,
Pernah muncul dalam diriku, tetapi tidak dibiarkan bebas—kemarahan, muncul dari kebodohan.
Benda yang menimbulkan kepuasan terhadap musuh kita, yang menginginkan penderitaan menimpa diri kita, Pernah muncul dalam diriku, tetapi tidak dibiarkan bebas—kemarahan, muncul dari kebodohan.
Benda yang muncul dalam diri kita yang membuat buta dalam hal kebatinan,  Pernah muncul dalam diriku, tetapi tidak dibiarkan bebas—kemarahan, berkembang karena kebodohan.
Benda yang, unggul, menghancurkan berkah dalam diri seseorang, Yang membuat tipuannya membebaskan setiap hal yang berharga, Besar, merusak, dengan sekumpulan hal  menakutkan,—Kemarahan—dulunya menolak meninggalkanku, O raja yang agung!
Api ini akan berkobar lebih besar jika ditambah minyak; Dan dikarenakan api untuk menjadi lebih besar, minyak itu sendiri pun terbakar.
Dan demikian di dalam pikiran orang dungu, orang yang tidak dapat memahami, Dari perdebatan muncul kemurkaan, dan dengan itu dirinya akan terbakar.
Ia yang kemarahannya berkembang seperti api dengan minyak dan rumput yang tumbuh liar, Seperti bulan di kegelapan di malam hari, demikian pula kehormatannya berkurang dan membusuk.
 Ia yang menenangkan kemarahannya seperti api yang tidak diberikan minyak, Seperti bulan di cahaya terang malam hari, kehormatannya berkembang dengan baik.”

Setelah mendengar ajaran Sang Mahasatwa, raja menjadi merasa sangat senang dan meminta salah satu pengawalnya untuk membawa petapa wanita itu kembali, dan mengundang petapa yang tidak memiliki nafsu kemarahan itu untuk tetap tinggal di taman bersama dengan dirinya, dalam kebahagiaan mereka menjalani kehidupan suci seraya berjanji untuk melindungi dan menjaga mereka seperti yang seharusnya dilakukan. Kemudian ia meminta maaf dengan sopan dan pergi.

Dan hanya mereka berdua yang tinggal di taman itu di sana. Seiring berjalannya waktu, petapa wanita itu meninggal. Setelah ia meninggal, petapa laki-laki itu kembali ke Gunung Himalaya, dan dengan mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, dan membangkitkan kesempurnaan dalam dirinya, kemudian ia muncul di alam Brahma.

------

Ketika Sang Guru selesai menyampaikan uraian ini, Beliau memaparkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran tersebut:—(Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya dikuasai nafsu keinginan tersebut mencapai tingkat kesucian anagami:)—“Pada masa itu, Ibu Rahula adalah petapa Suttapiṭaka  Jātaka wanita, Ananda adalah raja dan saya sendiri adalah petapa laki-laki tersebut.”
Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Copyright © 2011. Cerita Jataka - Kisah Sang Buddha Gautama pada masa kelahiran lampau - All Rights Reserved
Template Proudly powered by Blogger