Kisah ini disampaikan oleh Sang Guru saat Beliau berdiam di sebuah arama di Jetawana (Jetavana), di dekat Kota Sawatthi mengenai lima ratus orang teman dari seorang hartawan dan juga merupakan murid dari penganut ajaran sesat3.
Suatu hari, Anāthapiṇḍika, sang hartawan, mengajak teman-temannya, kelima ratus murid dari kelompok lain ke Jetawana, ia membawa untaian kalung bunga, wewangian dan obat-obatan dalam jumlah banyak, di samping itu, terdapat juga minyak, madu, sari gula, kain dan jubah. Setelah memberikan penghormatan kepada Sang Guru, ia mempersembahkan untaian kalung bunga dan sejenisnya kepada Beliau, menyerahkan obat- obatan, barang-barang lainnya, beserta kain kepada Bhikkhu Sanggha (Saṅgha).
Setelah itu, ia duduk di satu sisi agar tidak melanggar enam tata cara dalam memilih tempat duduk. Demikian juga kelima ratus murid dari kelompok lain itu, setelah memberikan penghormatan kepada Buddha, mereka mengambil tempat duduk di dekat Anāthapiṇḍika, menatap ketenangan wajah Sang Buddha, yang bersinar laksana cahaya purnama; keberadaan Beliau diliputi tanda-tanda Kebuddhaan, gemilang bagai cahaya yang menerangi hingga jarak satu depa jauhnya; kecemerlangan agung yang menandai seorang Buddha, laksana untaian bunga yang muncul sepasang demi sepasang.
Kemudian, walaupun dengan nada gemuruh laksana deram singa muda di Lembah Merah, seperti awan badai di musim hujan yang turun bagai Sungai Gangga dari surga5 [96] dan terlihat seperti untaian batu permata; namun ketika menyuarakan delapan tingkatan kesucian yang sangat memukau, Beliau membabarkan Dhamma dengan sangat merdu dan dengan berbagai keindahan yang cemerlang kepada mereka.
Setelah mendengarkan Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Buddha, mereka bangkit dengan niat untuk mengubah keyakinan mereka. Dengan memberi penghormatan kepada Yang Maha tahu, mereka meninggalkan keyakinan mereka sebelumnya dan berlindung kepada Buddha. Sejak itu, dengan tanpa henti mereka selalu pergi bersama Anāthapiṇḍika, membawa wewangian, untaian bunga dan sejenisnya di tangan mereka; mendengarkan Dhamma di wihara; mereka melatih kemurahan hati, menjaga sila dan menjalankan puasa pada hari- hari uposatha.
Kemudian Sang Buddha meninggalkan Sawatthi untuk kembali ke Rājagaha. Segera setelah Beliau pergi, mereka pun meninggalkan perlindungan terhadap Buddha dan kembali berlindung pada ajaran yang semula mereka anut.
Setelah menetap di Rājagaha selama tujuh hingga delapan bulan lamanya, Sang Buddha kembali ke Jetawana. Sekali lagi Anāthapiṇḍika bersama teman-temannya mengunjungi Sang Guru, memberikan penghormatan, mempersembahkan wewangian dan sejenisnya, dan mengambil tempat duduk di satu sisi. Teman-temannya juga memberikan penghormatan kepada Beliau dan mengambil tempat duduk dengan cara yang sama. Kemudian Anāthapiṇḍika memberitahukan kepada Sang Buddha bagaimana teman-temannya meninggalkan perlindungan kepada-Nya, kembali menganut keyakinan mereka yang lama pada saat Buddha melakukan perjalanan pindapata (piṇḍapāta, menerima derma makanan).
Setelah membuka mulut-Nya yang bagaikan seroja, laksana peti harta karun, diliputi semerbak aroma bunga yang amat wangi dan diliputi oleh harumnya kebajikan yang telah Beliau perbuat selama berkalpa-kalpa6 lamanya, dengan suara yang merdu Sang Buddha bertanya, “Benarkah kalian, para Siswa- Ku, meninggalkan Tiga Perlindungan 7 untuk berlindung pada ajaran yang lain?”
Karena sudah tidak dapat menutupi kenyataan tersebut, mereka pun mengakuinya dan berkata, “Hal itu benar adanya, Sang Buddha.” Mendengar hal tersebut, Sang Guru berkata, “Para Siswa, kemuliaan yang timbul dari menjalankan sila dan melaksanakan perbuatan baik lainnya, bukan di antara batasan neraka8 terendah dan surga tertinggi, bukan pula di semua alam tanpa batas yang membentang ke kanan maupun ke kiri, melainkan yang setara, atau sedikit berkurang kemuliaannya dalam hal keunggulan seorang Buddha.”
Lalu Beliau menyampaikan keunggulan dari Tiga Permata sebagaimana telah tercantum dalam kitab suci kepada mereka. Beberapa diantaranya adalah : “Wahai Bhikkhu, semua makhluk, yang tidak berkaki, dan seterusnya, di antara semuanya Buddhalah yang menjadi pemimpin.”; “Kekayaan apapun yang ada, baik di alam ini maupun di alam lainnya dan seterusnya.”; dan “Sesungguhnya pemimpin dari orang yang berkeyakinan dan seterusnya.”
Beliau berkata lebih lanjut, “Tidak ada siswa, baik pria maupun wanita, yang berlindung pada Tiga Permata yang diberkahi dengan keunggulan tiada taranya, yang akan dilahirkan kembali di alam neraka maupun alam sejenis lainnya; melainkan mereka akan terbebaskan dari kelahiran di alam yang menderita, terlahir di alam dewa dan menikmati kejayaan di sana. Karena itulah, jika meninggalkan perlindungan demikian untuk mengikuti ajaran lain, maka kalian telah berjalan ke arah yang salah.”
Berikut adalah kutipan dari kitab suci yang perlu dilantunkan untuk menjelaskan bahwa tiada seorang pun yang mencari pembebasan dan kebahagiaan tertinggi, akan terlahir kembali di alam yang menderita setelah berlindung pada Tiga Permata :
Mereka yang berlindung pada Buddha, tidak akan terlahir ke alam yang menderita; segera setelah mereka meninggalkan alam manusia, wujud Deva kan didapatkannya.
Mereka yang berlindung pada Dhamma, tidak akan terlahir ke alam yang menderita; segera setelah mereka meninggalkan alam manusia, wujud Deva akan didapatkannya.
Mereka yang berlindung pada Sangha, tidak akan terlahir ke alam yang menderita; segera setelah mereka meninggalkan alam manusia, wujud Deva akan didapatkannya.
Berbagai perlindungan yang dicari oleh manusia,
Puncak gunung, keheningan hutan, (dan seterusnya hingga )
Ketika perlindungan demikian telah ia cari dan temukan, ia akan terbebaskan dari segala penderitaan.)
Namun Sang Guru tidak mengakhiri khotbah-Nya sampai di sini. Beliau menambahkan, “Wahai Bhikkhu, meditasi dengan objek renungan terhadap Buddha, Dhamma ataupun Sanggha, akan membawa kita mencapai tingkat kesucian Jalan maupun Buah dari Sotāpanna, Sakadāgāmi, Anāgāmi, dan Arahat .” Setelah selesai membabarkan Dhamma kepada mereka dengan menggunakan berbagai cara, Beliau berkata lebih lanjut, “Jika meninggalkan perlindungan demikian, maka kalian telah berjalan ke arah yang salah.”
Beberapa tingkatan kesucian yang dapat dicapai melalui meditasi dengan objek perenungan Buddha, dan seterusnya; diperjelas lagi melalui beberapa kitab, seperti : “Wahai Bhikkhu, ada satu hal yang pasti, jika dipraktikkan dan dikembangkan akan menimbulkan rasa tidak suka terhadap kesenangan duniawi, berhentinya nafsu, berakhirnya proses kelahiran, ketenangan, menuju pandangan terang, mencapai penerangan sempurna, nibbana. Apakah satu hal itu? —Meditasi dengan menggunakan objek perenungan terhadap Buddha.”) Ketika Beliau memberikan nasihat kepada para bhikkhu,
Sang Buddha berkata, “Wahai Bhikkhu, di masa lampau, mereka yang berkesimpulan salah, berpandangan bahwa dengan tidak berlindung merupakan perlindungan yang sesungguhnya, akan menjadi mangsa dan dibinasakan oleh yaksa buas di hutan belantara berpenghuni siluman; sementara itu, mereka yang yakin terhadap kebenaran sejati tanpa keraguan, mampu bertahan di hutan belantara itu.” Setelah mengucapkan ini, Beliau berdiam diri.
Lalu sambil bangkit dan memberikan hormat kepada Sang Buddha, Upasaka Anāthapiṇḍika mengutarakan pujian, dengan kedua tangan dirangkupkan dengan penuh penghormatan hingga ke dahinya, ia berucap, “Jelas bagi kami, Sang Guru, bahwa saat ini para bhikkhu berjalan ke arah yang salah dengan meninggalkan perlindungan tertinggi. Namun kehancuran yang sudah terjadi bagi mereka yang berpendirian keras di hutan belantara berpenghuni siluman, dan keberhasilan dari mereka yang yakin akan kebenaran, tidak diketahui oleh kami dan hanya diketahui oleh Sang Guru.Semoga Sang Buddha, laksana menerbitkan purnama ke langit, menjelaskan hal ini kepada kami.”
Kemudian Sang Buddha bertutur, “Semata-mata untuk mengatasi persoalan-persoalan keduniawian, dengan melaksanakan Sepuluh Kesempurnaan (Dasa Parami) selama berkalpa-kalpa, segala pengetahuan menjadi jelas bagi-Ku. Simak dan dengarkanlah, secermat seperti kalian mengisi sumsum seekor singa ke dalam tabung emas.”
Setelah mendapatkan perhatian penuh dari hartawan, Sang Buddha menjelaskan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali, seolah-olah Beliau membebaskan purnama dari udara bebas yang tinggi, tempat terbentuknya salju.
Suatu ketika di masa lampau Brahmadatta terlahir sebagai seorang raja di Benares, negeri Kāsi, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga saudagar. Setelah dewasa, ia senantiasa melakukan perjalanan untuk berdagang dengan membawa lima ratus buah gerobak, menempuh perjalanan dari timur ke barat dan sebaliknya. Di Kota Benares juga terdapat seorang saudagar muda lainnya yang dungu dan pendek akal.
Kembali ke kisah ketika Bodhisatta yang siap untuk memulai perjalanannya setelah mengisi kelima ratus buah gerobaknya dengan barang-barang bernilai tinggi yang dihasilkan oleh penduduk Benares. Sama halnya dengan saudagar muda yang dungu itu. Saat itu Bodhisatta berpikir, “Jika si dungu ini berjalan bersamaku sepanjang perjalanan, akan ada seribu gerobak yang beriringan di jalan yang sama. Jalanan akan penuh sesak oleh iringan gerobak. Sulit untuk mendapatkan baik kayu, air dan lainnya yang cukup untuk semua orang, maupun rumput untuk sapi-sapi. “Salah seorang dari kami harus berangkat terlebih dahulu.” Bodhisatta mendatangi dan menyampaikan pandangannya kepada saudagar dungu itu, dengan berkata, “Kita tidak dapat berangkat bersamaan; kamu memilih berangkat terlebih dahulu atau belakangan?”
Saudagar dungu itu berpikir, “Akan ada banyak keuntungan yang bisa saya peroleh dengan berangkat terlebih dahulu. Jalanan masih bagus dan sapi-sapi akan mendapatkan rumput yang cukup. Para pelayanku akan mendapatkan rempah-rempah untuk kari, air yang masih jernih, dan yang terakhir, sayalah yang menentukan harga saat tukar menukar barang dilakukan.” Maka ia menjawab, “Saya akan berangkat terlebih dahulu, Saudaraku.”
Di sisi lain, Bodhisatta melihat banyak keuntungan dengan berangkat belakangan, Bodhisatta berkata pada dirinya sendiri, “Mereka yang berangkat terlebih dahulu akan meratakan jalan yang berpermukaan tidak rata, barulah saya akan menempuh jalan yang telah mereka lewati; sapi mereka akan memakan rumput tua yang kasar, barulah sapi-sapi saya dapat menikmati rumput muda yang baru tumbuh di sepanjang jalan; para pengikut saya akan mendapatkan rempah-rempah segar yang baru tumbuh setelah tanaman tua dipetik oleh mereka; jika tidak ada sumber air, mereka harus menggali sumur untuk mendapatkan air dan kami dapat minum air dari sumur yang telah ada. Tawar menawar adalah pekerjaan yang sangat melelahkan, dengan berangkat belakangan, saya dapat menukar barang bawaan saya dengan harga yang telah mereka sepakati sebelumnya.” Dengan pertimbangan tersebut, ia berkata, “Engkau dapat berangkat terlebih dahulu, Saudaraku.”
“Baiklah, saya akan segera berangkat,” jawab saudagar dungu itu. Ia mempersiapkan gerobak sapinya dan segera memulai perjalanan. Setelah berjalan beberapa saat, ia telah meninggalkan daerah tempat tinggal manusia dan mencapai daerah pinggiran hutan. (Hutan di sini terbagi menjadi lima jenis : —Hutan Perampok, Hutan Binatang Buas, Hutan Tandus, Hutan Siluman dan Hutan Kelaparan.
Jenis hutan yang pertama adalah hutan yang di sepanjang jalannya ditunggui oleh para perampok;
Jenis yang kedua adalah hutan yang dihuni oleh singa dan binatang buas lainnya; yang ketiga adalah hutan yang tidak terdapat air untuk mandi maupun minum barang setetes pun; yang keempat adalah hutan yang dihuni oleh siluman di sepanjang jalannya; dan jenis yang kelima adalah hutan dimana akar tanaman maupun makanan lainnya tidak dapat ditemukan.
Dari kelima jenis hutan di atas, dua jenis yang menjadi masalah besar adalah Hutan Tandus dan Hutan Siluman). Karena itulah si saudagar muda membawa banyak kendi air besar di gerobaknya. Setelah kendi-kendi itu diisi penuh dengan air, ia mulai bergerak melintasi padang tandus selebar enam puluh yojana yang terbentang di hadapannya. Saat ia mencapai jantung hutan, yaksa yang menghuni hutan itu berkata kepada dirinya sendiri, “Saya akan membuat orang-orang ini membuang persediaan air mereka, dan melahap mereka semua saat mereka jatuh pingsan.” Maka dengan menggunakan kekuatan sihirnya ia menciptakan sebuah kereta megah yang ditarik oleh sapi jantan muda berwarna putih bersih. Yaksa itu bergerak menuju tempat saudagar dungu berada, bersama rombongan yang terdiri dari sekitar sepuluh hingga dua belas yaksa lainnya yang menyandang busur dan tempat anak panah serta membawa pedang dan perisai.
Ia bertingkah seakan-akan ia adalah seorang raja yang sangat berkuasa di kereta itu, dengan untaian seroja biru dan teratai putih melingkari kepalanya, pakaian dan rambut yang basah, serta roda kereta yang berlepotan lumpur. Para pengawalnya, yang berada di barisan depan dan belakang, juga berada dalam keadaan pakaian dan rambut yang basah, dengan untaian seroja biru dan teratai putih di kepala mereka, membawa rangkaian teratai putih di tangan mereka sambil mengunyah batang bunga segar yang masih berteteskan air dan lumpur. Pemimpin kereta ini mempunyai kebiasaan sebagai berikut: Ketika angin bertiup ke arah mereka, mereka mengendarai kereta di depan dengan para pengawal mengelilingi mereka agar terhindar dari debu; saat angin bertiup searah mereka, mereka berpindah ke bagian belakang jalur. Saat itu, angin berhembus berlawanan arah dengan mereka, dan saudagar dungu itu mengendarai di depan. Yaksa yang telah mengetahui kedatangan saudagar muda tersebut, mendekatkan keretanya ke samping gerobak saudagar itu dan menyapanya dengan ramah sambil bertanya kemana saudagar itu akan pergi. Saudagar dungu membiarkan rombongan gerobak yang lain melewatinya terlebih dahulu, sementara dia menghentikan gerobaknya dan menjawab, “Kami baru saja meninggalkan Benares, Tuan. Saya melihat ada seroja dan teratai di kepala dan tangan Anda, para pengawal Anda juga mengunyah batangan bunga. Selain itu, Anda semuanya berlepotan lumpur dan basah kuyup. Apakah hujan turun selama perjalanan Anda, atau Anda baru saja keluar dari kolam yang dipenuhi oleh seroja dan teratai?”
Yaksa itu berseru, “ Apa maksudmu dengan berkata demikian? Oh, di sebelah sana, di bagian hutan yang agak dalam, air berlimpah-limpah. Di sana, hujan turun sepanjang waktu, sehingga kolam-kolam meluap; dan setiap sudut kolam dipenuhi oleh seroja dan teratai.”
Setelah rombongan kereta melewati mereka, yaksa itu menanyakan tujuan saudagar itu. “Ke tempat seperti itu,” jawabnya. “Apa saja barang bawaanmu di gerobak-gerobak itu?” “Ini dan itu.” “Apa yang engkau muat di gerobak terakhir ini karena kelihatannya gerobakmu membawa muatan yang berat sekali?” “Oh, gerobak ini berisi air” “Engkau memang perlu membawa air di sepanjang jalan yang telah engkau lalui. Namun, untuk sisa perjalanan yang belum engkau tempuh, tidak perlu melakukan hal itu lagi, ada persediaan air yang berlimpah di depan sana. Karena itu, pecahkan dan buang saja kendi air itu agar engkau bisa bergerak lebih cepat.”
Kemudian yaksa itu menambahkan, “Kita telah berhenti cukup lama, sekarang lanjutkanlah perjalananmu.” Setelah itu, ia bergerak maju secara perlahan, hingga tidak kelihatan lagi, kemudian kembali ke perkampungan para yaksa, tempat dimana ia tinggal.
Saudagar dungu tersebut benar-benar melakukan apa yang dikatakan oleh yaksa itu, ia memecahkan dan membuang kendi-kendi air itu tanpa menyisakan air setetes pun. Setelah selesai, ia memerintahkan gerobaknya untuk segera melanjutkan perjalanan. Tidak setetes air pun yang mereka temukan di
sepanjang jalan yang mereka lalui, sementara itu, rasa haus yang teramat sangat mendera, melelahkan mereka. Mereka berjalan terus hingga matahari terbenam. Saat senja tiba, mereka melepaskan sapi dari gerobak, membentuk formasi gerobak untuk membentengi mereka dan menambatkan sapi- sapi itu pada roda gerobak.
Sapi-sapi tidak mendapatkan air untuk minum, demikian pula saudagar serta para pengikutnya tidak dapat menanak nasi karena tidak ada air; para rombongan yang telah kelelahan itu akhirnya tersungkur ke tanah dan tertidur. Begitu malam tiba, para yaksa muncul dan memangsa mereka semuanya, baik manusia maupun sapi. Setelah melahap habis semua daging hingga yang tersisa hanyalah tulang belulang, para yaksa segera meninggalkan tempat itu. Demikian kedunguan saudagar muda itu menjadi satu-satunya penyebab binasanya rombongan tersebut, sedangkan kelima ratus gerobaknya tak tersentuh di sana.
Enam minggu setelah keberangkatan saudagar dungu itu, Bodhisatta memulai perjalanan-Nya. Ia meninggalkan kota bersama kelima ratus gerobaknya dan dalam sekejap ia telah tiba di pinggir hutan. Sebelum memasuki hutan, ia mengisi kendi- kendi airnya hingga penuh, kemudian dengan bunyi genderang ia mengumpulkan semua pengikutnya di perkemahan itu, ia berkata kepada mereka semuanya, “Jangan sampai ada penggunaan air setetes pun tanpa persetujuan saya. Ada beragam tanaman beracun di hutan ini, jadi jangan ada satu orang pun yang memakan baik daun, bunga maupun buah yang belum pernah dimakan sebelumnya, tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada saya.” Setelah menyampaikan hal tersebut, ia masuk ke dalam hutan bersama kelima ratus buah gerobaknya.
Saat ia mencapai jantung hutan, yaksa itu muncul di jalan yang dilalui oleh Bodhisatta dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Namun segera setelah Beliau menyadari keberadaan yaksa itu, Bodhisatta mengetahui maksud yaksa tersebut; karenanya beliau menimbang, “Tidak ada setetes air pun di sini, di Hutan Tandus ini. Orang yang bermata merah dan bersikap agresif ini tidak memantulkan bayangan.
Besar kemungkinan ia telah membujuk saudagar dungu yang berangkat sebelum saya untuk membuang persediaan airnya, menunggu hingga mereka kelelahan, lalu memangsa mereka semuanya. Ia tidak tahu kalau saya lebih pintar dan lebih cerdik darinya.” Ia menghardik yaksa itu, “Pergilah! Kami ini pedagang, kami tidak akan membuang persediaan air kami sebelum kami melihat sendiri sumber air yang kamu katakan itu. Jika sumber air itu telah terlihat, mungkin kami mau membuang persediaan air untuk meringankan beban gerobak kami.”
Yaksa itu bergerak maju hingga tidak kelihatan lagi, kemudian kembali ke perkampungan para yaksa, tempat dimana ia tinggal. Setelah yaksa itu pergi, para pengikut Bodhisatta berkata, “Tuanku, kami dengar dari rombongan itu bahwa di depan sana hujan selalu turun. Mereka memakai untaian seroja dan teratai di kepala mereka, mengunyah batangan bunga yang masih segar, dan pakaian serta rambut mereka basah kuyup dengan air yang masih menetes. Mari kita buang persediaan air kita dan bergerak lebih cepat dengan gerobak yang lebih ringan.” Mendengar kata-kata itu, Bodhisatta meminta mereka untuk berhenti dan mengumpulkan mereka semuanya lagi. “Katakan padaku,” ia berkata, “sebelum hari ini adakah di antara kalian yang pernah mendengar adanya kolam atau danau di Hutan Tandus ini?” “Tidak, Tuanku,” jawab para pengikutnya. Bodhisatta berkata lagi, “Itulah sebabnya hutan ini dikenal dengan sebutan Hutan Tandus.”
“Kita baru saja diberitahukan oleh orang-orang bahwa hujan baru saja turun di depan sana, di jalur besar hutan; seberapa jauhkah angin dapat membawa hujan?” “Sekitar satu yojana, Tuan.” “Adakah di antara kalian yang terkena hujan?” “Tidak, Tuan” “Seberapa jauhkah puncak awan topan dapat terlihat?” “Sekitar satu yojana, Tuan.” “Adakah di antara kalian, orang yang melihat adanya puncak awan topan dari sini?” “Tidak, Tuan.” “Seberapa jauhkah kilatan halilintar dapat terlihat?” “Sekitar empat sampai lima yojana, Tuan.” “Apakah ada orang yang melihat kilatan halilintar walaupun hanya seberkas dari sini?” “Tidak, Tuan.” “Seberapa jauhkah gemuruh petir dapat terdengar?” “Antara dua atau tiga yojana, Tuan.” “Adakah di antara kalian yang mendengar gemuruh petir dari sini?” “Tidak, Tuan.” “Mereka bukanlah manusia, melainkan yaksa. Mereka akan kembali lagi dengan harapan untuk memangsa kita saat kita lemah dan pingsan setelah persediaan air kita buang sesuai dengan bujukan mereka. Karena saudagar muda yang berangkat terlebih dahulu bukanlah orang yang pintar, besar kemungkinan ia telah ditipu untuk membuang persediaan air mereka dan telah dimangsa saat keletihan melanda mereka. Kita mungkin bisa menemukan lima ratus buah gerobak milik saudagar itu di tempat mereka ditinggalkan pada hari ini juga. Mari kita teruskan perjalanan ini secepat mungkin, tanpa kehilangan setetes air pun.”
Dengan menyemangati orang-orangnya dengan kata- kata tersebut, ia meneruskan perjalanan hingga tiba di tempat kelima ratus gerobak yang masih sarat muatan berada, dengan tulang belulang manusia dan sapi tergeletak bertebaran di segala penjuru. Ia melepaskan sapi dari gerobaknya, kemudian menbentuk formasi besar gerobak untuk membentengi mereka; setelah mereka menikmati makan malam mereka, sapi-sapi ditempatkan di tengah lingkaran dengan para pengikutnya mengelilingi sapi-sapi itu; ia sendiri bersama dengan pemimpin rombongannya berdiri berjaga-jaga, dengan pedang di tangan, melewati tiga waktu jaga sampai hari menjelang fajar.
Keesokan dini hari, setelah sapi-sapi diberi makan dan semua kebutuhan lainnya telah terpenuhi, ia menukar gerobaknya yang telah usang dengan gerobak yang lebih kuat, menukar barang-barangnya dengan barang-barang yang lebih berharga dari gerobak yang telah ditinggalkan itu. Setelah selesai, ia segera meneruskan perjalanan hingga tiba di tempat tujuannya, menukarkan barang- barang muatannya dengan nilai yang berlipat ganda, kemudian pulang kembali ke Benares tanpa kehilangan satu orang pengikut pun.
Saat kisah ini berakhir, Guru berkata, “Wahai Siswa, demikianlah yang terjadi di kelahiran lampau, ia yang penuh kedunguan menyebabkan terjadinya kebinasaan, sementara ia yang yakin pada kebenaran, lolos dari genggaman yaksa, mencapai tujuannya dengan selamat dan pulang kembali ke rumah mereka.”
Buddha kemudian mempertautkan kedua kisah itu, lalu mengucapkan syair Dhamma berikut ini
Saat satu-satunya kebenaran yang tiada bandingnya dibabarkan, mereka yang berpandangan salah akan berbicara sebaliknya.
Ia yang bijak mendapat hikmah dari yang didengarnya, menggenggam satu-satunya kebenaran yang tiada taranya.
Demikianlah tuturan Dhamma tentang Kebenaran yang diajarkan oleh Sang Buddha. Beliau berkata lebih lanjut, “Yang disebut hidup sesuai Dhamma tidak hanya diberkahi tiga alam kebahagiaan, enam Alam Kāmaloka, dan alam brahma yang lebih tinggi, namun mencapai tingkat kesucian Arahat [106]; sedangkan hidup tidak sesuai Dhamma menyebabkan kelahiran kembali di empat alam neraka atau lahir menjadi manusia dengan kasta yang paling rendah.” Sang Buddha kemudian menguraikan lebih terperinci mengenai enam belas jalan tentang Empat Kebenaran Mulia13, pada akhir khotbah kelima ratus siswa tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpatti-Phala14.
Setelah Dhamma selesai dibabarkan,Sang Buddha menjelaskan pertautan kedua kisah kelahiran tersebut, “Devadatta adalah saudagar muda yang dungu itu, para pengikut saudagar dungu itu merupakan pengikutnya; pengikut saudagar yang cerdik itu adalah pengikut Buddha, dan saudagar yang cerdik itu adalah Saya sendiri.”